Land Grabbing dan Penyalahgunaan Hukum: Ketika Rakyat Dipidanakan karena Bertahan di Tanah Sendiri

Di tengah semangat pembangunan infrastruktur secara masif yang menjadi program andalan pemerintah, terdapat satu kenyataan pahit yang kerap luput dari perhatian publik: penggusuran paksa dan kriminalisasi warga atas nama hukum. Fenomena ini, disebut land grabbing, bukan sekadar persoalan agraria biasa, tetapi juga wujud nyata dari penyalahgunaan hukum terhadap masyarakat rentan. Hukum tajam ke bawah.

Kriminalisasi Sengketa Agraria

Dalam banyak kasus konflik agraria di Indonesia, negara menggunakan hukum pidana untuk menyudutkan warga. Pasal-pasal seperti Pasal 170 KUHP (keroyokan), Pasal 406 (perusakan barang), Pasal 385 (penyerobotan), hingga Pasal 160 (penghasutan) kerap digunakan untuk mengkriminalisasi masyarakat adat, petani, atau warga miskin kota yang mempertahankan tanah yang telah mereka tempati secara turun-temurun.

Seharusnya, konflik agraria adalah ranah hukum perdata atau administrasi pertanahan. Hukum agraria bukan ranahnya pidana. Maka polisi tidak berwenang memaksa apalagi sampai menggunakan pasal-pasal pidana di ranahnya sipil / perdata. Ketika pendekatan hukum pidana digunakan, proses hukum memang menjadi lebih cepat dan represif, sehingga memberikan keunggulan - yang tidak etis - bagi negara. Karena penyalahgunaan wewenang tersebut, hukum menjadi kehilangan identitasnya sebagai penegak keadilan untuk rakyat, tetapi justru berubah menjadi alat yang berguna untuk represi.

Ketimpangan Hak Atas Tanah dan Hukum Adat yang Terabaikan

Data dari Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) mencatat bahwa 1% penduduk Indonesia menguasai lebih dari 50% tanah produktif. Kita tidak sudah heran lagi dengan ketimpangan yang ada di Indonesia. Si kaya makin kaya, dan yang miskin makin tertekan. Hukum pula lah yang digunakan si kaya untuk menekan si miskin. Tidak adanya reformasi agraria yang berpihak pada masyarakat adat dan petani kecil memperparah ketimpangan. Padahal, UUPA No. 5 Tahun 1960 secara eksplisit mengakui eksistensi hak ulayat dan hukum adat sebagai bagian dari sistem pertanahan nasional.

Namun dalam praktiknya, tanah-tanah adat sering diklaim sebagai “tanah negara” karena tidak bersertifikat. Masyarakat yang hidup secara turun-temurun di atas tanah tersebut tidak diakui secara administratif, dan akhirnya rentan digusur—bahkan dituduh sebagai “perambah” atau “pendudukan liar”.

Ketika Hukum Mengabaikan Konstitusi

Konstitusi Indonesia secara tegas menyatakan dalam Pasal 28H ayat (1) bahwa:

“Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat.”

Namun dalam kasus penggusuran paksa, hak konstitusional rakyat ini nyaris tidak pernah menjadi dasar dalam putusan hukum. Pemerintah dan aparat penegak hukum lebih sering berdiri tegak ”menjaga” tanah hak rakyat tersebut dengan dalih untuk pembangunan infrastruktur.

Studi Kasus: Dari Wadas hingga Rempang

Kasus-kasus seperti Wadas di Jawa Tengah, Rempang di Batam, atau konflik tanah adat di Papua dan Kalimantan menunjukkan pola yang sama: warga dituduh menghalangi proyek negara, aparat masuk dengan kekuatan penuh, dan sebagian warga diproses secara hukum dengan pasal-pasal pidana umum. Tidak ada ruang dialog bermakna atau penyelesaian konflik berbasis musyawarah. Tidak ada.

Misalnya, di Rempang, ratusan warga yang telah tinggal selama puluhan tahun di wilayah tersebut dituding sebagai penghambat investasi. Polisi diperbantukan katanya untuk mengamankan, dan warga yang menolak relokasi dituduh melakukan penghasutan. Aparat yang seharusnya di sisi rakyat menjadi sebaliknya, rakyat yang diperlakukan seolah mereka penjahat. Padahal, relokasi tanpa persetujuan dan kompensasi yang layak adalah pelanggaran menurut standar internasional dan menurut hukum Indonesia itu sendiri.

Hak Internasional: Suara yang Tak Didengar

Dari International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights (ICESCR) dan UN Guiding Principles on Internal Displacement, penggusuran hanya dapat dilakukan jika:

  • Ada proses dialog atau musyawarah yang mendalam
  • Ada kompensasi dan solusi alternatif
  • Tidak dilakukan dengan represif apalagi sampai menggunakan pasal-pasal pidana

Prinsip-prinsip dari PBB tersebut sudah difasilitasi di hukum Indonesia, tetapi belum diinternalisasi oleh aparat pemerintahan kita. Ironinya, yang ada justru kebalikan. Ditambah lagi, warga yang menjadi korban penggusuran menghadapi tantangan berat dalam mengakses bantuan hukum. Rakyat rentan kita banyak yang tidak mengerti cara mendapat pendampingan hukum, atau tidak punya cukup dokumen administratif untuk membela diri.

Reformasi hukum agraria, pengakuan hukum adat, dan yang paling utama ialah pembatasan penggunaan hukum pidana / keterlibatan polisi dalam konflik sipil seperti ini menjadi keharusan.

Komentar