Investasi Tersandung, Petani Terlindas: Ketidakpastian Hukum Dalam Reforma Agraria
Konflik agraria kerap digambarkan sebagai kisah klasik antara masyarakat kecil dan kekuatan modal. Namun, realitas hari ini menunjukkan bahwa persoalan agraria jauh lebih kompleks dan merugikan berbagai pihak. Bukan hanya petani dan masyarakat adat yang menjadi korban, tetapi juga korporasi legal yang tersandung oleh mafia tanah dan tumpang tindih regulasi negara. Dalam sistem agraria yang kacau, keadilan tidak berpihak pada siapa pun.
Ketika sebuah korporasi menghadapi kendala dalam legalitas tanah atau asetnya—misalnya
karena adanya sertifikasi ganda atas tanah tersebut—maka bukan hanya korporasi
itu saja yang investasinya tertunda. Pihak lain yang juga memegang sertifikat
dan meyakini legalitasnya pun turut terdampak. Dengan kata lain, satu konflik
agraria bisa menjerat lebih dari satu pihak sekaligus, menciptakan
ketidakpastian hukum yang merugikan semua pihak.
Di sinilah peran pemerintah seharusnya hadir sebagai mediator yang adil
dalam mencari solusi terbaik bagi kedua belah pihak. Namun kenyataannya di
lapangan, pemerintah justru kerap kali turut bermain dalam konflik agraria.
Alih-alih menjadi penengah, sebagian oknum memanfaatkan kekisruhan legalitas
tanah untuk kepentingan pribadi. Padahal, yang mereka pertaruhkan adalah
tertundanya investasi di wilayah mereka sendiri, serta terhambatnya pertumbuhan
dan ekspansi ekonomi yang seharusnya bisa berdampak luas. Para oknum
tersebut justru memperkeruh konflik dan memanfaatkan kekosongan hukum untuk
kepentingan pribadi.
Lebih dari itu, pemerintah sering kali bertindak inkonsisten. Misalnya,
ketika sebuah korporasi telah siap berproduksi dan menjalankan operasional
secara legal, justru aparat pemerintah datang menghentikan kegiatan tersebut
dengan dalih bahwa pembangunan dilakukan di atas lahan sawah yang dilindungi.
Padahal, pada saat proses pembelian atau perencanaan pembangunan dilakukan,
ketentuan perlindungan lahan tersebut belum berlaku. Tindakan semacam ini
menciptakan ketidakpastian hukum dan iklim usaha yang tidak sehat.
Pengaturan mengenai Lahan Sawah yang Dilindungi (LSD) secara resmi diatur
dalam Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan
Nasional (Permen ATR/BPN) Nomor 2 Tahun 2024. Penetapan status LSD dilakukan oleh Kementerian
ATR/BPN melalui surat keputusan resmi.
Belakangan, Menteri ATR/BPN, Nusron Wahid, mengusulkan dilakukannya kajian
ulang terhadap mekanisme penetapan LSD, khususnya untuk mempercepat proses
penetapan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan (LP2B). Salah satu opsi yang
diusulkan adalah kemungkinan agar penetapan LP2B dapat dilakukan langsung oleh
kementerian, tanpa harus melalui pemerintah daerah,[1]
guna menghindari hambatan birokratis dan mempercepat proses perlindungan lahan
pertanian strategis.
Proses penetapan LSD sendiri berlangsung dalam kurun waktu yang bervariasi
dan tidak dilaksanakan secara serentak di seluruh wilayah pada tahun yang sama.
Dalam konteks hukum pidana, Indonesia menganut asas non-retroaktif
sebagaimana diatur dalam Pasal 1 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
(KUHP) yang menyatakan bahwa: "Tiada suatu perbuatan dapat
dipidana, kecuali berdasarkan ketentuan perundang-undangan pidana yang telah
ada sebelum perbuatan dilakukan." Dengan demikian, apabila suatu lahan
baru ditetapkan sebagai LSD pada tahun 2024, maka pihak yang telah membeli atau
menguasai lahan tersebut sebelumnya—misalnya pada tahun 2018, saat lahan
tersebut belum memiliki status LSD—tidak serta-merta dapat dipidana atas dasar
pelanggaran terhadap ketentuan tersebut.
Kasus di Desa Pundenrejo, Kabupaten Pati, Jawa Tengah, menjadi potret nyata
bagaimana konflik agraria dapat menjerat semua pihak. Sebuah perusahaan
nasional yang bergerak di bidang industri pangan, mengakuisisi tanah seluas
±100 hektar dan memperoleh Hak Guna Bangunan (HGB) secara legal. Namun setelah
investasi besar dilakukan dan proses produksi dimulai, muncul klaim dari petani
lokal yang telah lama menggarap lahan tersebut sebagai tanah turun-temurun.
Masalah bertambah ketika pemerintah daerah menetapkan sebagian wilayah itu
sebagai zona sawah lindung melalui Perda terbaru—padahal saat awal investasi,
status lahan masih diperuntukkan untuk kegiatan industri.[2]
Akibat konflik ini, aktivitas perusahaan terganggu dan lebih dari ratusan
pekerja lokal terkena Pemutusan Hubungan Kerja (PHK). Di sisi lain, petani yang
berusaha merebut kembali lahannya pasca berakhirnya masa HGB justru dihadapkan
dengan tindakan represif: tanaman mereka dihancurkan, akses mereka ke lahan
diputus, dan lebih dari 140 keluarga kehilangan mata pencaharian. Upaya penyelesaian melalui BPN, Ombudsman,
dan Komnas HAM pun belum membuahkan hasil. Satu kasus, namun merugikan semua
pihak—dan menunjukkan bahwa dalam sistem agraria yang amburadul, keadilan tak
berpihak pada siapa pun.[3]
Karena itu timbul pertanyaan, mengapa ketidakpastian hukum justru
diciptakan di tengah iklim investasi dan bisnis di Indonesia? Bukankah sudah
menjadi kewajiban pemerintah—secara gotong-royong, terstruktur, dan
sistemik—untuk memberikan dukungan serta pendampingan terhadap kegiatan
investasi demi mendorong pertumbuhan ekonomi di daerah masing-masing?
Mereka lupa bahwa investor yang menjalankan bisnisnya sesuai dengan
prosedur dan legalitas yang berlaku di Indonesia sesungguhnya memberikan dampak
signifikan bagi banyak aspek. Pertama, keberadaan mereka menciptakan lapangan kerja melalui jumlah
karyawan yang besar. Kedua, mayoritas investor memiliki kewajiban merekrut
tenaga kerja dari masyarakat lokal, yang secara langsung mendukung pertumbuhan
ekonomi daerah. Ketiga, kehadiran investasi mendorong tumbuhnya UMKM di sekitar
kawasan industri atau gedung perkantoran, mulai dari sektor kuliner,
transportasi, hingga jasa penunjang lainnya.
Mengapa ketidakpastian hukum terus terjadi? Kondisi ini menimbulkan kebingungan di kalangan
investor dan masyarakat secara
keseluruhan. Secara langsung melemahkan
kepercayaan serta psikologi para pelaku usaha yang berniat menanamkan modal
atau membangun bisnisnya di Indonesia, apalagi kepercayaan rakyat kecil.
Menjaga kekayaan alam Indonesia—terutama lahan sawah, lahan perkebunan, dan
zona-zona merah yang memang tidak diperbolehkan untuk pembangunan
industri—tentu merupakan hal yang penting. Namun, kegiatan investasi dan
pengembangan bisnis juga tidak kalah krusial bagi pertumbuhan ekonomi nasional.
Di sinilah peran pemerintah seharusnya diperkuat dan dipertajam.
Pemerintah perlu memberikan kejelasan regulatif dan menyusun kebijakan yang
transparan agar semuanya menjadi terang benderang. Bahwa benar, ada zona-zona
tertentu yang wajib dilindungi dan tidak boleh dialihfungsikan, namun di sisi
lain masih terdapat banyak wilayah yang dapat dimanfaatkan secara legal dan
produktif oleh investor.
Tanpa kejelasan tersebut, kasus-kasus seperti investor yang sudah terlanjur
membangun usaha di atas tanah yang pada awalnya dinyatakan sah oleh
pemerintah—namun kemudian dipermasalahkan bertahun-tahun setelahnya karena
disebut berada di atas lahan lindung—akan terus terulang. Praktik inkonsistensi
semacam ini menciptakan ketidakpastian hukum dan mengganggu kepercayaan dunia
usaha terhadap kebijakan negara dan kepercayaan masyarakat pada umumnya.
Jika para taipan bisnis saja masih sangat mungkin dipermainkan oleh
oknum-oknum pemerintah, apalagi rakyat kecil yang setiap hari menjerit meminta
haknya. Ada begitu banyak kasus—baik yang melibatkan korporasi besar maupun
masyarakat biasa seperti petani—yang hingga kini masih terkatung-katung tanpa
kepastian hukum. Mereka menunggu keadilan dan pendampingan dari negara, namun
penyelesaiannya tak kunjung datang. Pertanyaan ini sekali lagi dilontarkan, jika
bahkan investor besar pun tak luput dari permainan oknum aparat, bagaimana
nasib petani yang tak punya kuasa hukum dan politik?
Kasus mafia tanah, notaris nakal, sistem administrasi yang sering kali
error, kelalaian tugas oleh Badan Pertanahan Nasional (BPN), tahapan proses
yang berbelit-belit, serta birokrasi yang lamban—semuanya perlu menjadi
perhatian serius dalam penyelesaian masalah agraria di Indonesia.
Seperti dikemukakan oleh Prof. Maria S.W. Sumardjono, “Ketidakpastian hukum
dalam bidang pertanahan adalah hasil dari disharmoni kebijakan dan lemahnya
koordinasi antar lembaga.” Maka wajar jika banyak konflik agraria justru tidak
menemukan titik terang, karena ketidaksinkronan aturan itu sendiri menjadi
sumber konflik yang baru.
Dalam pandangan Prof. Hikmahanto Juwana, kepastian hukum adalah
prasyarat mutlak dalam iklim investasi. Ini berarti bahwa ketika negara
justru menciptakan ketidakpastian dengan mengubah status hukum lahan setelah
investasi berjalan, maka yang rusak bukan hanya proyek tersebut, tapi juga
kepercayaan investor dan masyarakat secara keseluruhan.
Semua itu baru menyentuh aspek teknis yang kerap ditemui di lapangan. Belum
lagi jika kita menyoroti permasalahan yang lebih mendasar, yaitu lemahnya
konsep dan belum memadainya regulasi yang seharusnya mampu menciptakan iklim
bisnis yang sehat sekaligus melindungi hak-hak agraria rakyat kecil—yang
sayangnya, justru sering diabaikan.
Inisiatif Menteri ATR/BPN, Nusron Wahid, untuk mempercepat birokrasi
penetapan LSD perlu segera direalisasikan guna mencegah kekosongan,
ketidakpastian hukum dan tumpang tindih/ disharmoni data antara pusat dan
daerah. Kejelasan status lahan akan memberi kepastian hukum bagi petani maupun
investor, sehingga kegiatan ekonomi dapat berjalan tanpa mengorbankan hak-hak
penggarap lokal. Pendekatan yang adil dan terukur ini akan memperkuat
kepercayaan publik terhadap negara sebagai pelindung kepentingan semua pihak.
[1] https://www.atrbpn.go.id/berita/kementerian-atrbpn-upayakan-percepatan-lp2b-untuk-kurangi-jumlah-alih-fungsi-lahan
[2] https://mongabay.co.id/2025/05/02/konflik-dengan-perusahaan-berujung-intimidasi-ke-petani-pati/?utm_source=chatgpt.com
[3] https://mongabay.co.id/2025/06/30/konflik-lahan-dengan-perusahaan-petani-pati-butuh-kepastian/?utm_source=chatgpt.com


Komentar
Posting Komentar