Mafia Kelas Teri vs Perusahaan dalam Sengketa Hubungan Industrial
Ini mimin mau bahas permukaannya aja. Mari kita semua untuk tidak naif, jangan tutup mata.
Manusia mana yang tidak butuh duid? Tidak butuh makan? Tidak butuh biaya untuk menghidupi orang kesayangan dan dirinya? Manusia normal mana yang setelah kebutuhan primer terpenuhi, hati tidak bergejolak keras ingin juga memenuhi kebutuhan sekunder dan kalau bisa sampai tersier. Manusia mana yang tidak ada rakusnya? Manusia berhati malaikat pun seringkali berubah menjadi iblis karena beberapa kondisi. Akui saja sifat manusia, rakus, ingin uang sebanyaknya.
Begitu juga dengan para mafia kelas teri yang mencatut nama rakyat ini. Dengan penuh energi, mereka serang satu per satu perusahaan di daerahnya, untuk apa? Untuk dimintakan setoran/upeti.
Ketawa dulu ....
Ini kisah fakta.
Nama perusahaan besar, banyak orang mengira, orang yang bekerja di sana sudah hidup enak sehingga layak untuk di-bully. Bukti? Tidak sedikit artikel yang tidak segan-segan menyerang suatu perusahaan, artikel yang seolah tidak rela jika perusahaan di Indonesia tumbuh subur, artikel yang tidak ingin para pengusaha ini mendapat kemudahan.
Padahal, suburnya perusahaan juga berpengaruh pada kesejahteraan ribuan karyawan yang bekerja di sana.
Mafia kelas teri, yang berkeliaran sekitar kawasan industri, sekitar daerah yang penuh pabrik, mereka selalu sibuk mencari-cari informasi mengenai "ketidakadilan" yang dilakukan perusahaan. Mulai dari persoalan limbah/lingkungan, pendirian bangunan, perizinan/legalitas hingga tenaga kerja.
Paling untung kalau mereka temui celah di kasus limbah/lingkungan dan tenaga kerja. Perusahaan bisa sampai mati loh karena diserang, atau paling ringan, perusahaan berkeharusan membayar setoran kepada mafia itu supaya perusahaan tidak dapat serangan lagi.
Ah, mimin baru sadar, begini toh cara kerja preman wilayah.
Loh kok bisa? Mereka kan tidak ada legal standing? Harusnya kan patuh prosedur penyelesaian sengketa hubungan industrial? Kenapa ada setoran segala?
Kacau nih. Iya ... sistem negara mana sih yang tidak kacau. Lagi-lagi kembali pada siapa itu kita. Manusia mana bisa tahan godaan korupsi.
Sebelum litigasi, sengketa hubungan industrial harus dilakukan mediasi dulu secara bipartit antara karyawan dengan perusahaan. Begini, beberapa kasus perusahaan itu tidak disampaikan langsung oleh karyawan, tapi diwakilkan oleh mafia-mafia itu. Dari mana mafia tahu ada "ketidakadilan" atau ada "sesuatu" di perusahaan? Entah. Bisa dikira-kira, ini dari salah satu pekerja yang "khianat" atau dari teman si mafia yang bekerja di sana.
Langkah selanjutnya setelah bipartit adalah tripartit. Kita sudah mulai bawa mediator dari Dinas Ketenagakerjaan Kabupaten/Kota untuk urusi kasus ini.
Ini bagian seru sebelum litigasi.
Letak serunya di mana?
Disnaker.
Ehem. PNS. Uang tak cukup, cari penghasilan lain ... ya dari sini. Ini kesempatan juga untuk gali koin bagi mereka.
Bagaimana caranya?
Mereka bertumpu di dua kaki. Mafia mereka perjuangkan, sehingga bisa bagi hasil. Tentu perusahaan juga mereka perjuangkan, sehingga bisa dikasih door prize.
Alhasil, seringkali masalah yang sudah jelas bukan masalah akhirnya menjadi masalah. Karena sayangnya, perusahaan dan mafia itu diadu-banteng, diletup-letupkan masalahnya oleh Disnaker, bukan didamaikan.
Jangan suudzon, dari mana menyimpulkan kalau Disnaker begitu?
Bagi mimin, kalimat "sudahlah ... dia ini cuma minta uang aman saja kok. Kasih saja uang aman itu." yang mereka sampaikan kepada perusahaan, sudah cukup sebagai bahan untuk sampai pada kesimpulan kalau mereka juga ingin bagian dari uang aman itu.
Ada banyak perusahaan yang mengalah karena risih diganggu terus oleh si mafia, tapi sedikit perusahaan yang berkata tegas, "loh dia mau kerjaan dari kami, kami kasih kerja apa? Kami gak mungkin dong memperkerjakan orang yang sudah serang kami begini pak! Logikanya dari mana. Kalau kami pekerjakan dia, tidak ada untungnya bagi kami, kami malah buntung. Uang aman atau uang damai, kami tolak. Kalau kami kasih, sama saja kami kalah. Kami ikut prosedur penyelesaian sengketa hubungan industrial saja deh. Kami siap bertarung kok. Perusahaan kami sudah baik dari sistem gaji dan sudah dapat izin lingkungan juga. Kami tidak takut."
Petugas Disnaker mengiyakan dengan keringat dingin. Karena ia gagal dapat cuan di bawah meja. Ia cuma bisa bilang, "baik. Kalau sesuai prosedur, kami panggil sekali lagi anak ini (si mafia itu), kemudian kalian siapkan semua berkas."
Padahal si mafia tidak ada legal standing pula dari awal. Siapa dia? Terkadang, banyak mafia yang bukan bagian dari LSM resmi yang terdaftar, pun bukan pengacara. Disnaker tutup mata demi koin dari perkara.
Loh itu kan bagian dari korupsi!? Kamu traktir petugas negara saja sudah termasuk korupsi loh, apalagi kasih gratifikasi yang agak gedean?
Lucunya negeri ini. Sulit bedakan antara anjing dan serigala, antara orang baik dan orang jahat.
Orang bekerja atas nama keadilan untuk rakyat, ah belum tentu.
Komentar
Posting Komentar