DISKUSI PERTANYAAN: Hak Kekayaan Intelektual (HKI)

  1. Apa Pengertian HAKI? Ruang lingkupnya? Dan dasar hukumnya?
Hak Kekayaan Intelektual (HKI) adalah hak eksklusif yang diberikan pemerintah kepada penemu, pencipta, pendesain atas hasil karya cipta dan karsa yang dihasilkan. Hak eksklusif yang dimaksud adalah hak monopoli untuk memperbanyak karya cipta dalam jangka waktu tertentu baik dilaksanakan sendiri maupun dilisensikan. Ruang lingkup HKI ialah karya yang dihasilkan manusia di berbagai bidang, misalnya invensi di bidang teknologi, karya seni, sastra, desain, dan karya-karya di bidang ilmu pengetahuan.

Berdasartkan WIPO (World Intellectual Property Organization) Hak atas Kekayaan Intelektual dapat dibagi menjadi beberapa bagian, yaitu sebagai berikut:
  • Paten, (patents);
  • Paten sederhana, (utiliy models);
  • Hak desain industri (industry design);
  • Hak merek;
  • Merek dagang (trademarks); dan
  • Merek jasa (servicemarks);
  • Nama perusahaan (tradenames); dan
  • Persaingan curang (the repression of unfair competition) (Tim Lindsey dkk, 2006: 30) (Ade Maman Suherman, 2003: 139-141)
Sedangkan Perjanjian Internasional tentang Aspek-aspek Perdagangan dari HKI (the TRIPs Agreement) menyatakan bahwa HKI terdiri dari:
  • Hak Cipta dan Hak terkait;
  • Merek Dagang;
  • Indikasi Geografis;
  • Desain Industri;
  • Paten;
  • Tata letak (topograpi) sirkuit terpadu;
  • Perlindungan informasi rahasia;
  • Kontrol terhadap praktek persaingan usaha tidak sehat dalam perjanjian lisensi.
Dasar hukum HKI atau hukum positif yang mempayungi HKI di Indonesia ialah sebagai berikut:
  • Pasal 33 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
  • Undang-undang Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek (UUHM).
  • Undang-undang Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta (UUHC).
  • Undang-undang Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2016 tentang Hak Paten.
  • Undang-undang Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 2000 tentang Rahasia Dagang.
  • Undang-undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 2000 tentang Desain Industri.
  • Undang-undang Nomor 29 Tahun 2000 tentang Perlindungan Varietas Tanaman.
  • Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2000 tentang Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu.
  • Undang-undang Nomor 7 Tahun 1994 tentang Pembentukan Agreement Establishing The Word Trade Organization (Persetujuan Pembentukan Organisasi Perdagangan Dunia).
  • Paris Convention For Industrial Property & Convention Establishing The World Intellectual Property Organization.
  • Patent Cooperation Treaty (PCT) & Regulations Under The PCT.
  • Trademark Law Treaty.
  • Bern Convention For The Protection Of Literary And Artistic Words.
  • WIPO Copyright Treaty.

  1. Apa nama Lembaga internasional yang bergerak dibidang HAKI? Dan bagaimana kedudukan Indonesia di dalamnya?
Lembaga Internasional yang bergerak dibidang HKI adalah WIPO (World Intellectual Property Organization). WIPO merupakan lembaga multilateral yang didirikan pada tahun 1970 dan merupakan sebuah badan khusus PBB sejak tahun 1974, berasal dari Sekretariat Konvensi Paris dan Konvensi Bern yang dibuat pada tahun 1880-an. Sedangkan kedudukan Indonesia, kami kira ialah sebagai anggota dari Organisasi tersebut. Di samping sebagai anggota WIPO, Indonesia juga menjadi anggota dari Patent Cooperation Treaty (PCT). PCT ialah suatu kesepakatan beberapa Negara yang dikoordinasikan melalui World Intellectual Property Organization (WIPO) untuk memberikan kemudahan dan kecepatan dalam pengajuan permohonan Paten ke beberapa negara lain (yang juga merupakan anggota PCT).[2]

Anggota PCT pada tanggal 1 Oktober 2016 tercatat ada 151 baik negara maju maupun negara berkembang, meski anggotanya termasuk pula negara maju, namun sebenarnya PCT dikhususkan untuk negara berkembang seperti Indonesia. Manfaat yang bisa diperoleh dari mengajukan atau mendaftarkan paten secara internasional melalui PCT ialah inventor atau kalangan pengusaha swasta Indonesia bisa mendapatkan perlindungan hukum atas patennya di banyak negara sesuai dengan keinginan pemohon, serta inventor tidak perlu mengajukan perlindungan paten ke Dirjen HKI.

  1. Bagaiamana perkembangan perlindungan HAKI di Indonesia? Apa kelebihan dan kekurangannya?
No.Jenis HKIPeraturan Perundang-undangan
1.Hak Cipta-          UU Hak Cipta Tahun 1912
-          UU No. 6 Tahun 1982
-          UU No. 7 Tahun 1987
-          UU No. 12 Tahun 1997
-          UU No 19 Tahun 2002
-          UU No. 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta.
2.Paten-          UU Paten Tahun 1910
-          Pengumuman Menteri Kehakiman No. J.S. 5/41/4 tentang Pengajuan Sementara Permintaan Paten Dalam Negeri
-          Pengumuman Menteri Kehakiman No. J.G.1/2/17 tentang Pengajuan Sementara Permintaan Paten Luar Negeri
-          UU No. 6 Tahun 1989
-          UU No. 13 Tahun 1997
-          UU No. 14 Tahun 2001
-          UU No. 13 Tahun 2016
3.Merek-          UU Merek Tahun 1884
-          UU No. 21 Tahun 1961
-          UU No. 19 Tahun 1992
-          UU No. 14 Tahun 1997
-          UU No. 15 Tahun 2001
4.Desain IndustriUU No. 31 Tahun 2000
5.Desain Tata Letak Sirkuit TerpaduUU No. 32 Tahun 2000
6.Rahasia DagangUU No. 30 Tahun 2000
7.Perlindungan Varietas TanamanUU No. 29 Tahun 2000

  1. Apa yang dimaksud dengan hak cipta? Bagaimana cara memperoleh pengakuan hak cipta?
            Berdasarkan UU Nomor 28 tahun 2014 tentang Hak Cipta, definisi Hak Cipta adalah Hak Cipta adalah hak eksklusif pencipta yang timbul secara otomatis berdasarkan prinsip deklaratif setelah suatu ciptaan diwujudkan dalam bentuk nyata tanpa mengurangi pembatasan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.Objek hak cipta ialah karya yang dibuat di bidang ilmu pengetahuan, seni, dan sastra. Hak eksklusif bagi pemegang hak cipta terdiri dari hak ekonomi dan hak moral, Undang-undang Hak Cipta menguraikan bahwa hak ekonomi ialah hak pemegang hak cipta untuk melakukan:
  • penerbitan Ciptaan;
  • penggandaan Ciptaan dalam segala bentuknya;
  • penerjemahan Ciptaan;
  • pengadaptasian, pengaransemenan, atau pentransformasian Ciptaan;
  • pendistribusian Ciptaan atau salinannya;
  • pertunjukan Ciptaan;
  • pengumuman Ciptaan;
  • komunikasi Ciptaan; dan
  • penyewaan Ciptaan.

Prosedur/Diagram Alur Permohonan Hak Cipta:[3]
  1. Apa saja yang bisa dipatenkan? Bagaimanakah Persyaratan Mengajukan Permintaan Paten di Indonesia? Apakah Hak dan Kewajiban Pemilik atau Pemegang Paten?
Pasal 1 angka 1 UUHP menyebutkan bahwa: “Paten adalah hak eksklusif yang diberikan oleh Negara kepada inventor atas hasil invensinya di bidang teknologi, yang untuk selama waktu tertentu melaksanakan sendiri invensinya tersebut atau memberikan persetujuannya kepada pihak lain untuk melaksanakannya”. Berdasarkan Direktur Jenderal Hak Kekayaan Intelektual, Invensi adalah ide inventor yang dituangkan ke dalam suatu kegiatan pemecahan masalah yang spesifik di bidang teknologi, dapat berupa produk atau proses, atau penyempurnaan dan pengembangan produk atau proses.[4] Adapun yang tidak termasuk dalam Invensi adalah:
  • Kreasi estetika;
  • skema;
  • aturan dan metode untuk melakukan kegiatan
  • aturan dan metode mengenai program komputer;
  • presentasi mengenai suatu informasi.
Paten juga tidak diberikan untuk invensi tentang;
  • Proses atau produk yang pengumuman dan penggunaan atau pelaksanaannya bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, moralitas agama, ketertiban umum, atau kesusilaan;
  • Metode pemeriksaan, perawatan, pengobatan dan/atau pembedahan yang diterapkan terhadap manusia dan/atau hewan;
  • Teori dan metode di bidang ilmu pengetahuan dan matematika; atau
  • Semua mahluk hidup, kecuali jasad renik, dan proses biologis yang esensial untuk memproduksi tanaman atau hewan, kecuali proses non-biologis atau proses mikrobiologis.
Tata cara atau prosedur untuk memperoleh hak paten: Sebelum mengajukan permohonan paten, sangat disarankan agar inventor terlebih dahulu:
melaksanakan penelusuran (search), untuk memperoleh gambaran apakah invensi yang diajukan memang memenuhi syarat kebaruan, artinya belum pernah ada pengungkapan sebelumnya oleh siapapun, termasuk oleh si inventor sendiri. Penelusuran dapat dilakukan terhadap dokumen-dokumen paten baik yang tersimpan pada database DJHKI, maupun kantor-kantor paten lain di luar negeri yang representatif dan juga relevan terhadap teknologi dari invensi yang akan kita patenkan; dan juga terhadap dokumen-dokumen nonpaten seperti jurnal-jurnal ilmiah yang terkait.
langkah selanjutnya adalah membuat spesifikasi paten, yang terdiri sekurang-kurangnya atas:
  • Judul Invensi;
  • Latar Belakang Invensi, yang menerangkan teknologi yang ada sebelumnya serta masalah yang terdapat pada teknologi tersebut, yang coba ditanggulangi oleh invensi;
  • Uraian Singkat Invensi, yang menerangkan secara ringkas mengenai fitur-fitur yang terkandung dalam, dan menyusun, invensi;
  • Uraian Lengkap Invensi, yang menerangkan mengenai bagaimana cara melaksanakan invensi;
  • Gambar Teknik, jika diperlukan untuk menerangkan invensi secara lebih jelas;
  • Uraian Singkat Gambar, untuk menerangkan mengenai Gambar Teknik yang disertakan;
  • Abstrak, ringkasan mengenai invensi dalam satu atau dua paragraf;
  • Klaim, yang memberi batasan mengenai fitur-fitur apa saja yang dinyatakan sebagai baru dan inventif oleh sang inventor, sehingga layak mendapatkan hak paten.
Penyusunan spesifikasi paten membutuhkan keahlian dan pengalaman tersendiri, karena perlu memadukan antara bahasa teknik dan bahasa hukum di dalamnya. Banyak Konsultan HKI Terdaftar yang memiliki kualifikasi keahlian dan pengalaman tersebut, serta akan dapat membantu anda menyusun spesifikasi. Perlu membayar biaya Permohonan Paten sebesar Rp. 750.000,00. Apabila ketiga persyaratan minimum ini dipenuhi, maka permohonan akan mendapat Tanggal Penerimaan (FilingDate). Persyaratan lain berupa persyaratan formalitas dapat dilengkapi selama tiga bulan sejak Tanggal Penerimaan, dan dapat dua kali diperpanjang, masing-masing untuk dua dan satu bulan. Persyaratan formalitas tersebut adalah:
  • Surat Pernyataan Hak, yang merupakan pernyataan Pemohon Paten bahwa ia memang memiliki hak untuk mengajukan permohonan paten tersebut;
  • Surat Pengalihan Hak, yang merupakan bukti pengalihan hak dari Inventor kepada Pemohon Paten, jika Inventor dan Pemohon bukan orang yang sama;
  • Surat Kuasa, jika permohonan diajukan melalui Kuasa;
  • Fotokopi KTP/Identitas Pemohon, jika Pemohon perorangan;
  • Fotokopi Akta Pendirian Badan Hukum yang telah dilegalisir, jika Pemohon adalah Badan Hukum;
  • Fotokopi NPWP Badan Hukum, jika Pemohon adalah Badan Hukum; dan
  • Fotokopi KTP/Identitas orang yang bertindak atas nama Pemohon Badan Hukum untuk menandatangani Surat Pernyataan dan Surat Kuasa.
Masa pengumuman akan dimulai segera setelah 18 (delapanbelas) bulan berlalu dari sejak Tanggal Penerimaan, dan akan berlangsung selama 6 (enam) bulan.

Permohonan paten akan dimuat dalam Berita Resmi Paten dan media resmi pengumuman paten lainnya. Tujuannya adalah membuka kesempatan kepada masyarakat untuk mengetahui mengenai invensi yang dimohonkan paten, di mana masyarakat bisa mengajukan keberatan secara tertulis kepada DJHKI jika masyarakat mengetahui bahwa invensi tersebut tidak memenuhi syarat untuk dipatenkan.

Segera setelah masa pengumuman berakhir, atau selambat-lambatnya 36 (tigapuluhenam) bulan dari Tanggal Penerimaan, pemohon dapat mengajukan Permohonan Pemeriksaan Substantif dengan menyerahkan Formulir yang telah dilengkapi dan membayar biaya ke DJHKI. Jika pemohon tidak mengajukan Permohonan Pemeriksaan Substantif dalam batas waktu 36 bulan dari Tanggal Penerimaan tersebut, maka permohonannya akan dianggap ditarik kembali dan dengan demikian invensinya menjadi public domain.

Dalam Tahap Pemeriksaan Substantif inilah DJHKI melalui Pemeriksa Paten akan menentukan apakah invensi yang dimohonkan paten tersebut memenuhi syarat substantif sehingga layak diberi paten, berdasarkan dokumen-dokumen pembanding baik dokumen paten maupun non-paten yang relevan. Dalam waktu paling lambat 36 bulan sejak Permohonan Pemeriksaan Substantif diajukan, Pemeriksa Paten sudah harus memutuskan apakah akan menolak ataupun memberi paten. Pemohon yang permohonan patennya ditolak dapat mengajukan banding ke Komisi Banding Paten, yang dapat berlanjut ke Pengadilan Niaga hingga akhirnya kasasi ke Mahkamah Agung. Jika pemohon menerima penolakan, ataupun upaya hukum yang diajukannya tetap berujung pada penolakan, maka invensi tersebut menjadi public domain.

Terhadap Invensi yang diberi paten, DJHKI akan segera mengeluarkan Sertifikat Hak Paten.
Hak dan Kewajiban pemegang paten berdasarkan Pasal 19 sampai 21 UU No. 13 tahun 2016 tentang Paten yakni sebagai berikut:

pemegang paten memiliki hak ekslusif untuk melaksanakan paten yang dimilikinya dan untuk melarang pihak lain yang tanpa persetujuannya:
  • dalam hal paten produk: membuat, menggunakan, menjual, menyimpan, menyewakan, menyerahkan atau menyediakan untuk dijual atau disewakan atau diserahkan produk yang diberi paten.
  • dalam paten proses: menggunakan proses produksi yang diberi paten untuk membuat barang atau tindakan lainnya sebagaimana dimaksud dalam huruf a.
Larangan menggunakan proses produksi yang diberi paten sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 huruf hanya berlaku terhadap impor produk yang semata-mata dihasilkan dari penggunaan proses yang diberi perlindungan paten.

Dalam hal untuk kepentingan pendidikan, penelitian, percobaan, atau analisis, larangan sebagaimana dimaksud pada ayat 1 dan 2 dapat dikecualikan sepanjang tidak merugikan kepentingan yang wajar dari pemegang paten dan tidak bersifat komersial.
Pasal 20
  1. pemegang paten wajib membuat produk atau menggunakan proses Indonesia.
  2. membuat produk atau menggunakan proses sebagaimana dimaksud pada ayat 1 harus menunjang transfer teknologi, penyerapan investasi dana/atau penyediaan lapangan kerja.
Pasal 21
Setiap pemegang paten atau penerima lisensi paten, wajib membayar biaya tanggungan.

  1. Tindakan yang Bagaimanakah yang dianggap Pelanggaran Paten? Siapa Sajakah Pelaku Pelanggaran Paten?
Pelanggaran Paten dijelaskan dalam Pasal 19 ayat (1) UU No. 13 tahun 2016 tentang Paten yakni sebagai berikut:
  • Pemegang paten memiliki hak eksklusif untuk melaksanakan paten yang dimilikinya dan untuk melarang pihak lain yang tanpa persetujuannya:
Dalam hal paten produk: membuat, menggunakan, menjual, menyimpan, menyewakan, menyerahkan atau menyediakan untuk dijual atau disewakan atau diserahkan produk yang diberi paten
Pemegang hak paten dengan dasar hukum (legal standing) ini dapat mengajukan ganti rugi kepada siapa saja yang melakukan perbuatan sebagaimana yang diatur dalam Pasal 19 ayat (1) di atas. Pasal 143 Undang-undang Paten ayat (1) menegaskan bahwa “Pemegang Paten atau penerima Lisensi berhak mengajukan gugatan ganti rugi kepada Pengadilan Niaga terhadap setiap Orang yang dengan sengaja dan tanpa hak melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (1)”.

  1. Kapan merek bisa didaftarkan dan kapan tidak bisa didaftarkan?
Merek tidak dapat didaftarkan apabila:
  • bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, moralitas agama, kesusilaan/ketertiban umum;
  • tidak memiliki daya pembeda;
  • telah menjadikan milik umum; dan
  • merupakan keterangan/berkaitan dengan barang/jasa yang dimohonkan pendaftarannya.
Merek bisa didaftarkan apabila tidak memiliki unsur-unsur persamaan dengan merek lainnya untuk barang dan jasa sejenis yang sudah terdaftar.

  1. Bagaimanakah Cara Menindak Pelanggar Merek Baik Secara Pidana dan Perdata?
Jika merek yang terdaftar masih berada dalam jangka waktu perlindungan merek yaitu 10 tahuh sejak tanggal pendaftaran, maka apabila terjadi pelanggaran yang dilakukan oleh pihak lain terhadap merek terdaftar tersebut, dapat diajukan gugatan secara perdata melalui pengadilan niaga, gugatan tersebut dapat berupa gugatan ganti kerugian maupun gugatan untuk menghentikan semua perbuatan yang berkaitan dengan penggunaan merek tersebut yang dinilai sebagai pelanggaran, pelanggaran itu harus dibuktikan di pengadilan.

Pasal 76 Undang-undang Merek mengatur tentang gugatan atas pelanggaraan merek, pemilik merek dapat mengajukan gugatan ganti rugi atau penghentian semua perbuatan yang berkaitan dengan penggunaan merek tersebut.
Bisa pula dengan melaporkan adanya tindak pidana pelanggaran merek kepada aparat kepolisian. Pidana dapat berupa pidana penjara (paling lama 5 thn) atau kurungan maupun denda (paling besar 800.000.000) sesuai ketentuan Undang-Undang Merek Pasal 90 sampai 95.

  1. Bagaimana Cara Mendaftar Merek yang Tidak Meniru atau Melanggar Merek Pihak Lain?
Prosedur/Diagram Alir Permohonan Merek[5]

  1. Kapan HAKI mulai dikenal dalam tradisi Islam? Bagaimana respon ulama terhadap HAKI? Apakah HAKI bisa diperjualbelikan?
Hak kekayaan intelektual baru dipergunakan dalam khasanah hukum Islam di negara-negar muslim sekitar abad 19. Ottoman Empire pada tahun 1910 mengenalkan suatu undang-undang yang berkaitan dengan hak kekayaan intelektual khususnya dalam bidang hak cipta karya tulis dengan undang-undang hak al-ta’lif (hak bagi pengarang). Adapun di Maroko undang-undang yang serupa diperkenalkan dengan nama undang-undang Qanun al-Maghribi.[6]

Menetapkan hukum hak intelektual dalam Islam tidak dapat dilepaskan pada kajian maqashid syariah sebagaimana disampaikan oleh Al Ghazali, yaitu (1) Memelihara agama (hafidh ad din); (2) Memelihara akal (hifdh al-‘aql); (3) Memelihara jiwa (hifdh an-nafs); (4) Memelihara keturunan (hifdh an-nasl), dan (5) Memelihara harta kekayaan (hifdh al-mal).[7]

Kekayaan intelektual dalam literatur Islam kontemporer dikenal dengan haq al-Ibtikar, yang berarti hak istimewa atas suatu ciptaan yang pertama kali diciptakan. Fathi Al-Duraini mendefinisikannya: “Wujud konsep pemikiran yang dihasilkan kemampuan analisis mendalam pada diri seorang ilmuwan, atau budayawan dan sebangsanya, yang merupakan penemuan (kreasi) pertama dan belum pernah dikemukakan orang lain sebelumnya.”[8]

Khusus untuk hak kekayaan intelektual dalam ranah hak cipta karya tulis, Abdullah al-Mushlih, dan Shalah Ash-Shawi mendefinisikannya sebagai sejumlah keistimewaan yang dimiliki oleh seorang penulis atau pengarang yang bisa dihargai dengan uang. Hak demikian bisa disebut hak abstrak, kepemilikan seni atau sastra, atau hak-hak intelektual. Fatwa Majelis Ulama’ Indonesia sendiri mendefinisikan hak kekayaan intelektual sebagai hak eksklusif bagi pencipta atau penerima hak untuk mengumumkan atau memperbanyak ciptaannya atau memberi izin untuk itu dengan tidak mengurangi pembatasan-pembatasan menurut peraturan perundangan-undangan yang berlaku.[9]

Hukum hak kekayaan intelektual dalam fiqih Islam dapat dianalisa dengan menggunakan qawaidh fiqhiyyah, ushul fiqih, dan maqashid asy-syariah. Berdasarkan ijma ulama hak kekayaan intelektual dilindungi oleh hukum Islam, karena keberadaannya disamakan dengan harta, dan hak kekayaan intelektual termasuk dalam kategori milk al-tam (milik penuh). Implikasinya atau karena HKI adalah harta, HKI dapat diperjualbelikan oleh pemegang hak. Diperbolehkannya menjual hak kekayaan intelektual tersebut akan mampu memberikan stimulus bagi penemu dan pencipta di bidang garapan keilmuan lainnya untuk berkompetisi secara aktif dalam riset, karena mereka telah mendapatkan penghidupan yang layak dari jerih payahnya (dari hasil komersialisasi objek HKI).

  1. Apa hubungan HAKI dengan kegiatan bisnis dan keuangan? Jelaskan dan berikan contohnya!
Pada dasarnya, HKI dapat dikomersialkan. Berarti bahwa HKI dapat menjadi objek dalam kegiatan bisnis, atau HKI memang merupakan objek utama dalam kegiatan bisnis. Baik hukum positif Indonesia maupun hukum Islam, keduanya membolehkan HKI diperjualbelikan atau dikomersialkan. Menurut pemikiran kami, salah satu fungsi dari adanya HKI ialah pemegang hak bisa memperoleh hak ekonomi dan hak moral, sehingga tujuan yang diharapkan dari para pemegang HKI adalah mereka dapat “mengomersialkan” karya mereka yang dilindungi oleh HKI tanpa diplagiasi pihak yang tidak bertanggungjawab. Manfaat dari dibolehkannya menjual hak kekayaan intelektual sudah disinggung pada jawaban dari pertanyaan sebelumnya. Bentuk-bentuk komersialisasi HKI ialah sebagai berikut:[10]
  • Mengembangkan Sendiri
Pada bentuk komersialisasi ini, pemilik HKI dapat mengembangkan usaha berbasiskan HKI miliknya. Bentuk komersialisasi ini merupakan bentuk komersialisasi yang memiliki resiko dan pengembalian ekonomis yang paling tinggi. Pada bentuk komersialisasi ini, semua resiko ditanggung oleh pemilik HKI dengan catatan bahwa pemilik HKI memiliki sumberdaya yang dibutuhkan untuk mengembangkan usahanya ini.
  • Akuisisi
Membeli/mengakuisisi suatu perusahaan lebih tidak beresiko dibandingkan dengan mengembangkan usaha baru karena investasi pengembangan awal sudah selesai dan infrastruktur produksi sudah tersedia. Dengan bentuk komersialisasi ini, pemegang HKI dapat meningkatkan daya saingnya untuk penetrasi pasar dengan lebih cepat karena memperpendek time to market dengan tetap mempertahankan kendali total (Megantz, 1996). Tantangan pada bentuk komersialisasi adalah potensi-potensi friksi atau konflik karena perbedaan budaya atau manajemen antara pemilik HKI dan perusahaan yang mengakuisisinya.
  • Joint Venture
Ketika dua perusahaan memiliki kesamaan visi atau saling mengisi satu sama lain (satu perusahaan menutup asset komplementer dari perusahaan yang lain), maka sebuah perusahaan joint venture dapat dibentuk. Dalam joint venture ini, dua atau lebih perusahaan menyetujui untuk berbagi modal, teknologi, sumberdaya manusia, resiko dan imbalan dalam pembentukan unit usaha baru di bawah pengawasan bersama (Megantz, 1996). Bentuk komersialisasi ini sangat strategis apabila bias ditemukan partner yang memiliki asset komplementer (kapasitas, sumberdaya, dan lain-lain).
  • Lisensi
Lisensi berarti izin yang diberikan oleh pemilik HKI kepada pihak lain berdasarkan perjanjian pemberian hak untuk menikmati manfaat ekonomi dari suatu HKI dalam jangka waktu dan syarat tertentu. Hak untuk memakai HKI ini umumnya ditukar dengan suatu biaya lisensi atau royalti dalam berbagai bentuknya, seperti persentase dari laba bersih pemegang lisensi, persentase dari penjualan kotor dari pemegang lisensi atau biaya yang telah ditentukan. Bentuk komersialisasi ini merupakan bentuk yang paling umum digunakan dalam komersialisasi HKI. Lisensi sendiri terdapat dua bentuk yaitu lisensi eksklusif dan non-eksklusif. Pada lisensi eksklusif, pemilik HKI biasanya memutuskan untuk tidak memberikan HKI tersebut kepada pihak lain dalam daerah tersebut untuk jangka waktu lisensi, kecuali kepada pemegang lisensi eksklusifnya. Sedangkan pada lisensi non eksklusif, pemilik HKI dapat memberikan lisensi HKI-nya kepada pihak lainnya dan juga menambah jumlah pemakai lisensi dalam daerah yang sama.
  • Aliansi Strategis
Jika dua perusahan memiliki tujuan yang sama dan saling menguntungkan, sebuah aliansi dapat dibentuk yang memungkinkan terjadinya pembagian keuntungan. Melalui sebuah aliansi, perusahaan dapat menggunakan keahlian masing-masing untuk mengambil manfaat sebesar-besarnya dari sebuah pasar atau satu perusahaan setuju untuk memasarkan dan menjual produk yang dihasilkan oleh perusahaan yang lain. Dalam bentuk komersialisasi ini, satu perusahaan dapat mencapai tujuan dengan tetap mempertahankan fleksibilitasnya untuk beradaptasi dengan cepat misalnya dengan penggantian partner. Aliansi dapat horisontal atau vertikal. Sebagai contoh pada aliansi yang vertikal, partner menangani market dan pemilik HKI mengembangkan produknya.
  • Penjualan
Pemilik HKI dapat melakukan penjualan atas HKI-nya dengan pertimbangan-pertimbangan strategis tertentu. Bentuk komersialisasi ini merupakan yang paling tidak beresiko bagi pemilik HKI tetapi memberikan resiko yang tertinggi bagi pembelinya.

[1] Dr. Ir. Krisnani Setyowati, dkk, Hak Kekayaan Intelektual dan Tantangan Implementasinya di Perguruan Tinggi, (Bogor: Kantor HKI-IPB Kantor Hak Kekayaan Intelektual Institut Pertanian Bogor, 2005), hlm. 2
[2]Ibid., hlm. 16
[3]http://www.dgip.go.id/layanan-kekayaan-intelektual/merek/prosedur-diagram-alir-permohonan-merek diakses pada tanggal 22 Oktober 2016.
[4]http://www.dgip.go.id/layanan-kekayaan-intelektual/paten/tanya-jawab-paten diakses tanggal 22 Oktober 2016.
[5]http://www.dgip.go.id/layanan-kekayaan-intelektual/hak-cipta/prosedur-diagram-alir-hak-cipta diakses pada tanggal 22 Oktober 2016.
[6]Ibid., hlm. 14
[7]Ibid., hlm. 15
[8]Ibid., hlm. 16
[9]Ibid.
[10]Ibid., hlm. 99-101

Komentar

Postingan Populer