Teori Hukum Murni dan Hak Asasi Manusia

sumber gambar: mainmain.id

Pemikiran Kelsen amat condong pada kepastian hukum dan hidup berdampingan secara damai. Uniknya, kepastian hukum dan hidup damai merupakan landasan bagi perlindungan hak asasi manusia. Di sisi lain, Kelsen juga mengakui prinsip relativitas yang menjamin kebebasan manusia, termasuk kebebasan untuk menyeimbangkan nilai-nilai yang berbeda. Pendekatan ini menghasilkan konsepsi demokrasi yang stabil, khususnya dalam lingkungan dengan pluralisme nilai. Pluralisme ini, pada gilirannya, akan menopang nilai individualitas manusia dan melindungi otonomi manusia dari pretensi totaliter yang mengatasnamakan cita-cita luhur solidaritas sosial.[1]

Karena itu, Hans Kelsen dapat membebaskan manusia dari otoritas moral atau totalitas supra-individu seperti masyarakat, negara, dan sejenisnya. Hal ini berlawanan dengan opini yang tersebar luas, Kelsen tidak mengklaim tidak boleh ada keadilan dalam hukum ¾ persyaratan kemurnian teori hukum murni Hans Kelsen hanya menyangkut ilmu hukum, yang harus bebas nilai ketika mempelajari hukum. Kelsen sebetulnya secara eksplisit mengakui bahwa penerapan dan penafsiran hukum ialah melibatkan nilai-nilai hukum seperti keadilan atau kesetaraan dan moralitas.

Kelsen, jika seseorang menegaskan bahwa hak asasi manusia diandaikan dengan cara yang mendasar sebagaimana norma dasar diandaikan, maka HAM bisa dikatakan “menggantung di udara,” sebagai murni hipotesis atau fiksi. Bagi Kelsen HAM, seperti halnya hak dan kewajiban pada umumnya tidak dapat ditemukan di suatu tempat di alam atau di masyarakat. Karena itu dalam pengertian ini, HAM menggantung di udara atau, lebih tepatnya, hanyalah sebuah model pemikiran. HAM hanya memungkinkan manusia secara otoritatif untuk mengoordinasikan perilaku timbal balik mereka seolah-olah itu adalah norma dasar. Ketika tujuan hak ialah perlindungan individu, maka hak adalah hukum itu sendiri.[2]

Menerima bahwa perilaku manusia tunduk pada aturan hukum/ norma dasar tersebut, sama saja dengan sepakat bahwa manusia ada/ bergerak berdasarkan apa pun konstitusinya. Jika konstitusi menjamin kebebasan individu dan/ atau hak individu, maka harus dihormati. Aturan hukum dalam relasi normatif Hans Kelsen membebani manusia dengan kewajiban dan memberikan manusia hak.[3] Hak menurut Kelsen ialah tatanan hukum memberikan wewenang hukum tertentu kepada seorang individu (bukan organ masyarakat melainkan seorang individu/ orang pribadi), atau wewenang hukum untuk memulai prosedur yang mengarah pada reaksi terhadap pelanggaran kewajiban. Ada karena norma atau tatanan hukum, dan dibatasi juga oleh norma/ tatanan hukum tersebut, misal hak politik.[4]  

Hukum dalam teori Kelsen memiliki tujuan normatif: memungkinkan arbitrase damai dan tanpa kekerasan dari konflik individu dan negara, dan menjaga kebebasan individu. Artinya, hukum itu sah sejauh mengamankan eksistensi damai individu dan negara, alat-alat hukum berfungsi untuk mengamankan/ melindungi kedamaian dan hidup berdampingan. Hak asasi manusia diakui sebagai ius cogens dari hukum internasional kontemporer lebih didahulukan dari aturan hukum negara.[5] Tetapi hukum internasional itu sendiri masih kekurangan organ resolusi sengketa dan badan penegakan hukum yang efektif mengamankan perlindungan hak asasi manusia. Kelsen bercita-cita membangun tatanan hukum dunia yang secara efektif menegakkan perdamaian, perlindungan hukum, ketertiban dan, mungkin dapat termasuk juga, hak asasi manusia



[1] Mikhail Antonov, “The Legal Conception of Hans Kelsen and Eugen Ehrlich: Weighing Human Rights and Sovereignty” National Reseacrh University Higher School of Economics, 2016, hlm. 21.
[2] Jimly Asshiddiqie dan Ali Safa’at, “Teori Hans Kelsen tentang Hukum”, (Jakarta: Setjen dan Kepaniteraan MK-RI, 2006), hlm. 72.
[3] Ibid., hlm. 86. 
[4] Hans Kelsen, General Theory of Law and State, (Bandung: Penerbit Nusa Media, 1971), Cetakan VII, hlm. 151.  
[5] Nanda Saraswati, “Kriteria untuk Menentukan Hak Asasi Manusia sebagai Jus Cogens dalam Hukum Internasional” Arena Hukum, Volume 2, Agustus 2017, hlm. 182.  

Komentar

Postingan Populer