PROSEDUR PENDIRIAN BANK UMUM KONVENSIONAL
Jelaskan bagaimana persyaratan dan prosedur pendirian bank umum konvensional?
Merujuk pada ketentuan Undang-Undang No. 21 tahun 2008 tentang Perbankan
Syariah Pasal 9 bahwa yang dapat mendirikan dan memiliki Bank syariah adalah
warga negara Indonesia (WNI) atau badan hukum Indonesia, WNI dan badan hukum
Indonesia dengan warga negara asing (WNA) dan/atau badan hukum asing secara
kemitraan, atau Pemerintah daerah.
Begitu pun dengan bank umum konvensional, diatur dalam UU Perbankan Pasal
22 sampai dengan Pasal 28. Baik BPRS maupun BPR tidak boleh dimiliki asing, dan
wajib dimiliki oleh WNI, badan hukum Indonesia yang semua pemiliknya WNI, atau
pemerintah daerah (Pasal 23 UU Perbankan dan Pasal 9 ayat (2) UU Perbankan
Syariah). Dasar pertimbangan mengapa asing tidak dapat menyertakan kepemilikan
pada BPR dan BPRS ialah karena kebutuhan modal untuk mendirikan BPR atau BPRS
tidak terlalu besar, sehingga masih dapat dipenuhi oleh warga negara Indonesia.
Selain itu juga, cakupan usaha BPR atau BPRS tidak terlalu luas (misal, hanya
satu provinsi), dan tidak menjalankan usaha pada lalu lintas pembayaran. Pada
dasarnya BPR atau BPRS ialah bank untuk warga menengah ke bawah dan untuk usaha
mikro, kecil, dan menengah.
Kepemilikan oleh warga negara asing atau badan hukum asing paling banyak
sebesar 99% (sembilan puluh sembilan persen) dari modal disetor Bank (PBI Nomor
11/3/2009 tentang Bank Umum Syariah). Bank syariah didirikan dengan bentuk
badan hukum Perseroan Terbatas serta modal disetor minimum sebesar Rp.
1.000.000.000.000,00 (satu triliun rupiah).
Berdasarkan Peraturan Bank Indonesia (PBI) Nomor 2/27/PBI/2000 tentang Bank
Umum, modal disetor bank umum minimal senilai Modal disetor untuk mendirikan Bank ditetapkan
sekurang-kurangnya sebesar Rp 3.000.000.000.000,00 (tiga triliun rupiah).
Berdasarkan PBI Nomor 8/26/PBI/2006 tentang BPR, modal disetor untuk mendirikan
BPR sebanyak:
a. Rp 5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah) untuk BPR yang didirikan di daerah
DKI.
b. Rp 2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah) untuk BPR yang didirikan di ibukota
provinsi di pulau Jawa dan Bali dan di wilayah Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi.
c. Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah), bagi BPR yang didirikan di ibukota
Provinsi di luar pulau Jawa dan Bali dan di wilayah pulau Jawa dan Bali di luar
wilayah sebagaimana disebut dalam huruf a dan huruf b;
d. Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah), bagi BPR yang didirikan di
wilayah lain di luar wilayah sebagaimana disebut dalam huruf a, huruf b dan
huruf c.
Pasal 4 ayat (2) dan (3) PBI tentang BPR mengatur bahwa modal disetor bagi
BPR yang berbentuk hukum Koperasi adalah simpanan pokok, simpanan wajib, dan
hibah sebagaimana diatur dalam Undang-Undang tentang Perkoperasian. Paling
sedikit 50% (lima puluh perseratus) dari modal disetor BPR wajib digunakan
untuk modal kerja.
Setiap perbankan (bank umum, bank syariah, BPR, dan BPRS) hanya dapat
didirikan dan melakukan kegiatan usaha setelah mendapat izin dari Bank
Indonesia (sekarang OJK), pemberian izin oleh OJK melalui dua tahap:
a. Persetujuan prinsip, yaitu persetujuan untuk melakukan persipan pendirian
Bank.
b. Izin usaha, yaitu izin yang diberikan untuk melakukan kegiatan usaha Bank
setelah persiapan.
Berdasarkan UU Perbankan Syariah Pasal 5,
permohonan untuk mendapatkan izin usaha diajukan oleh pihak yang telah mendapat
persetujuan prinsip kepada OJK disertai dengan kelengkapan dokumen sekurang-kurangnya
memuat:
a. Susunan organisasi dan kepengurusan.
c. Permodalan.
d. Kepemilikan.
e. Keahlian di bidang Perbankan Syariah.
f. Kelayakan usaha.
Untuk
bank umum konvesional, hal di atas diatur dalam UU Perbankan Pasal 16, serta
lebih lengkap mengenai tata cara pendirian bank umum dapat dilihat dalam PBI
Nomor 2/27/PBI/2000 tentang Bank Umum, serta untuk BPR diatur lebih lanjut
dalam PBI tentang BPR. Kemudian setelah memenuhi kelengkapan dokumen, OJK akan
melakukan fit and proper test dan penelitian atas kelengkapan dan
kebenaran dokumen berdasarkan pada POJK No.
27/POJK.03/2016 tentang Penilaian Kemampuan dan Kepatutan Bagi
Pihak Utama Lembaga Jasa Keuangan.
Bentuk badan hukum untuk bank umum dan BPR
diatur dalam Pasal 21 UU Perbankan, yakni dapat berupa perseroan terbatas,
koperasi, atau perusahaan daerah, atau bentuk lain yang ditetapkan oleh
peraturan pemerintah. Sementara bank syariah hanya boleh berbadan hukum perseroan
terbatas (Pasal 7 UU Perbankan Syariah).
Komentar
Posting Komentar