Pendaftaran Pelaksanaan Putusan BASYARNAS

:) Intro: Meski OJK menganjurkan untuk menyelesaikan sengketa ekonomi syariah di Badan Arbitrase Syariah Nasional (BASYARNAS), namun nyatanya BASYARNAS belum begitu populer di kalangan praktisi ekonomi syariah, bahkan para praktisi tersebut seringkali bingung dan bertanya: "BASYARNAS yang mana dan yang sebelah mana ya?" Websitenya pun belum dibuat :(, karena itu, informasi mengenai BASYARNAS yang terbatas tersebut menjadi semakin sedikit dan sulit dicari. Kendala lain ialah, kemana putusan BASYARNAS didaftarkan? ke Pengadilan Negeri kah? atau ke Pengadilan Agama? 

Walau saya belum pernah lihat putusan BASYARNAS, dan walau BASYARNAS ini dipertanyakan keberadaannya, tapi saya yakin bahwa di luar sana pasti ada saja pihak yang sudah pernah mencoba menyelesaikan sengketanya di BASYARNAS ;)

Sekali lagi, pertanyaannya ialah kemana seharusnya putusan BASYARNAS itu didaftarkan?
Mari kita bahas, mohon maaf jika pembahasannya kurang mendalam yaaaa....



Pembahasan 
Putusan arbitrase hanya bisa dilaksanakan atau mempunyai kekuatan eksekusi jika sudah didaftarkan di pengadilan. Bagi putusan arbitrase nasional, jangka waktu pendaftaran ke pengadilan sejak putusan diucapkan adalah 30 (tiga puluh) hari.[1] Sebagaimana yang tertuang dalam Pasal 59 ayat (3) Undang-undang Kekuasaan Kehakiman dan penjelasannya bahwa, dalam hal para pihak tidak melaksanakan putusan arbitrase (termasuk arbitrase syariah) secara sukarela, putusan dilaksanakan berdasarkan perintah Ketua Pengadilan Negeri atas permohonan salah satu pihak yang bersengketa.
Pelaksanaan putusan arbitrase syariah melalui pengadilan agama pernah ditentukan oleh Surat Edaran Mahkamah Agung No. 8 Tahun 2008 tentang Eksekusi Putusan Badan Arbitrase Syariah, namun SEMA No. 8 Tahun 2008 tersebut sudah tidak lagi diberlakukan, sebab SEMA ini telah dicabut oleh SEMA No. 8 Tahun 2010 tentang Penegasan Tidak Berlakunya Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor: 08 Tahun 2008 Tentang Eksekusi Putusan Badan Arbitrase Syariah. SEMA No. 08 Tahun 2010 tersebut diberlakukan atas dasar telah diundangkannya Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.

Tidak hanya SEMA No. 08 Tahun 2008 yang berlawanan dengan Undang-undang Kekuasaan Kehakiman, sehingga SEMA tersebut dihapus, namun menurut Irham Rahman (2014), bahkan pasal 49 Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan Undang-undang Peradilan Agama juga berlawanan dengan pasal 59 ayat (1) Undang-undang Kekuasaan Kehakiman. Irham Rahman (2014) berpendapat bahwa seharusnya Undang-undang Kekuasaan Kehakiman tersebut memberikan kewenangan terkait penyelesaian (pemeriksaan, putusan sampai dengan pelaksanaan eksekusi) sengketa ekonomi syariah kepada peradilan agama karena kekhasan prinsip syariah yang digunakan, serta karena mempertimbangakan kewenangan absolut peradilan agama dan kepastian hukum.[2] Oleh sebab itu, putusan arbitrase seharusnya dilaksanakan atas perintah pengadilan agama, bukan pengadilan negeri seperti yang diatur dalam Pasal 59 ayat (3) Undang-undang Kekuasaan Kehakiman.

Dhaniar Eka Budiastanti, Istislam, dan Bambang Winarno (2016) dalam kesimpulan penelitiannya menyatakan secara tegas dan lugas bahwa pihak yang berwenang untuk melaksanakan putusan Badan Arbitrase Syariah (Basyarnas) adalah Ketua Pengadilan Agama. Di samping karena kesesuaian hukum yang diberlakukan oleh peradilan agama dan arbitrase syariah yaitu hukum Islam, hal tersebut juga dikarenakan oleh kepastian hukum. Implikasi hukum dari adanya tumpang tindih kewenangan badan peradilan dalam melaksanakan putusan Badan Arbitrase Syariah antara lain ialah sebagai berikut:[3]
  1. Dapat menyebabkan kekeliruan untuk mengajukan gugatan kepada lingkungan peradilan atau pengadilan yang tidak berwenang, sebab tidak adanya kepastian hukum. Kekeliruan tersebut dapat membuat suatu gugatan tidak sah dan dinyatakan tidak dapat diterima;
  2. Menjadi kendala dan penghambat terlaksananya perluasan Pengadilan Agama dalam bidang sengketa ekonomi syariah;
  3. Tereduksinya kewenangan absolute peradilan agama untuk menyelesaikan sengketa ekonomi syariah, yang bermuara pada kerancuan hukum.
Simpulan penelitian Dhaniar Eka Budiastanti (2016) di atas diperkuat oleh penelitian yang dilakukan Ummi Uzma (2014) yang menyatakan bahwa sebab Badan Arbitrase Syariah Nasional menyelesaikan perkara-perkara ekonomi syariah, maka pelaksanaan putusannya secara kewenangan absolut merupakan kewenangan Pengadilan Agama.[4] Begitu pula menurut M. Isna Wahyudi (2014) bahwa jika kewenangan mengadili sengketa perbankan syariah melalui litigasi merupakan kewenangan absolut Peradilan Agama berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 93/PUU-X/2012, maka Peradilan Agamalah yang berwenang untuk melakukan eksekusi maupun pembatalan terhadap putusan arbitrase syariah.[5]

Selain masalah kewenangan badan peradilan dalam melaksanakan putusan arbitrase syariah, masalah lainnya pun muncul setelah mengikatnya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 93/PUU-X/2012 perihal pengujian Undang-undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah terhadap Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia. Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut telah membatalkan materi muatan ayat (2) dan ayat (3) Pasal 55 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah[6] dan membuat Pasal 55 ayat (2) dan (3) tidak lagi mengikat.
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Mursyid Surya Candra (2015), implikasi hukum yang timbul akibat putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 93/PUU-X/2012 di atas yaitu dihapuskannya kewenangan Peradilan Umum dalam hal penyelesaian sengketa perbankan syariah, serta menjadikan Pengadilan Agama sebagai satu-satunya institusi yang berwenang dalam hal memeriksa, memutus, dan menyelesaikan sengketa perbankan syariah secara litigasi. Selain itu, dengan dihapuskannya “pembatasan” pilihan forum (choice of forum) penyelesaian sengketa yang tertera dalam penjelasan Pasal 55 Ayat (2), maka para pihak tidak lagi terpaku dalam menyelesaikan sengketanya secara non litigasi melalui musyawarah, mediasi perbankan[7], arbitrase melalui Badan Arbitrase Syariah Nasional atau lembaga arbitrase lainnya, tetapi dapat juga menempuh proses non litigasi lainnya seperti konsultasi, negosiasi (perundingan), konsiliasi, mediasi non mediasi perbankan, pendapat atau penilaian ahli.[8]

Pada intinya, hampir seluruh peneliti yang saya kutip simpulannya berpendapat bahwa "seharusnya" putusan BASYARNAS tersebut didaftarkan ke Pengadilan Agama.
Oleh karena itu, demi kemajuan ekonomi syariah, maka Undang-undang tentang Arbitrase Syariah perlu dibentuk. :)

Terimakasih sudah baca tulisan di blog ini.. ;)
                [1] http://www.pshk.or.id/id/blog-id/arbitrase-syariah-dan-lembaga-peradilan/ diakses pada hari Senin, 24 April 2017
                [2] Irham Rahman, dkk., Analisis Pasal 59 ayat (1) Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman di Bidang Arbitrase Syariah, Universitas Brawijaya: Student Journal, diakses dari http://hukum.studentjournal.ub.ac.id/index.php/hukum/article/view/752
                [3] Dhaniar Eka Budiastanti, dkk., Kewenangan Pelaksanaan Putusan Badan Arbitrase Syariah Nasional Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 93/PUU-X/2012, Universitas Brawijaya: Student Journal, diambil dari http://hukum.studentjournal.ub.ac.id/index.php/hukum/article/download/1555/1290.
                [4] Umi Uzma, Pelaksanaan atau Eksekusi Putusan Badan Arbitrase Syariah Nasional (BASYARNAS) Sebagai Kewenangan Pengadilan Agama, Jurnal Hukum dan Pembangunan Tahun ke-44 Nomor 3 Juli-September 2014, hlm. 397
                [5] M. Isna Wahyudi, S.HI., M.SI., Harmonisasi Hukum dalam Penyelesaian Sengketa Ekonomi Syariah melalui Peraturan Mahkamah Agung (PERMA), in 'Adliya: Jurnal Hukum dan Kemanusiaan, Volume 8, Nomor 2, 2014.
                [6] Pasal 55 berbunyi: (1) Penyelesaian sengketa Perbankan Syariah dilakukan oleh pengadilan dalam lingkungan Peradilan Agama; (2) Dalam hal para pihak telah memperjanjikan penyelesaian sengketa selain sebagaimana dimaksud pada ayat (1), penyelesaian sengketa dilakukan sesuai dengan isi Akad; (3) Penyelesaian sengketa sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak boleh bertentangan dengan Prinsip Syariah. Kemudian uraian penjelasan ayat (2) Pasal 55 tersebut ialah: Yang dimaksud dengan “penyelesaian sengketa dilakukan sesuai dengan isi Akad” adalah upaya sebagai berikut: a. musyawarah; b. mediasi perbankan; c. melalui Badan Arbitrase Syariah Nasional (Basyarnas) atau lembaga arbitrase lain; dan/atau d. melalui pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum.
                [7] Bank Indonesia dalam website www.bi.go.id mendefinisikan mediasi Perbankan sebagai proses penyelesaian sengketa antara nasabah dengan bank yang difasilitasi oleh Bank Indonesia, untuk mencapai penyelesaian dalam bentuk kesepakatan sukarela.
                [8] Mursyid Surya Candra, Analisis Yuridis Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 93/PUU-X/2012 tentang Perbankan Syariah, Skripsi Universitas Hasanudin Makassar, 2015, hlm. 78

Komentar

Postingan Populer