Analisis Sederhana Kasus Budi Gunawan

Ingat kasus Cicak vs Buaya? Kasus itu berawal dari sini manteman.. :) bermula dari kasusnya Budi Gunawan.

Krolonogi Perkara Permohonan Pra-peradilan Budi Gunawan
Dikutip dari republika[1], proses hukum penetapan tersangka Budi Gunawan bermula dari adanya aduan masyarakat terkait dugaan aliran dana mencurigakan di dalam rekening Budi Gunawan pada tahun 2008. Menindaklanjuti hal tersebut, KPK membentuk tim untuk menyelidiki kebenaran dari laporan tersebut. Pasca pembentukan tim yang terdiri dari penyelidik, penyidik, serta penuntut umum tersebut tim memulai pencarian data dan bukti untuk bisa membuktikan kasus tersebut bisa masuk dalam ranah tindak pidana korupsi.

Setelah dilakukan penelusuran kasus, pada Juni 2014 Deputi Penyelidikan mengeluarkan surat perintah penyelidikan terhadap kasus dugaan rekening gendut Budi Gunawan dan dugaan penerimaan gratifikasi. Surat perintah penyelidikan keluar pada Juni 2014. Kemudian tim dari KPK tersebut meminta kepada PPATK terkait laporan keuangan Komjen Budi Gunawan pada bulan September. Saat surat perintah penyelidikan keluar Komjen Budi Gunawan menjabat sebagai Kepala Lembaga Pendidikan Kepolisian.

Setelah menerima laporan hasil analisis keuangan, tim penelusuran tersebut bertemu dengan Deputi Penindakan untuk melaporkan hasil penyelidikan selama ini. Setelah tim penelusuran mempunyai cukup bukti. Akhirnya tim dan deputi penindakan mengadakan forum ekspose yang digelar awal Januari 2015. Forum ekspose tersebut dihadiri oleh empat pimpinan KPK. Keempat pimpinan KPK menerima Laporan Hasil Penyelidikan yang sudah dilakukan oleh tim tersebut.

Forum Ekspose selesai pada tanggal 12 Januari 2015 atas persetujuan empat pimpinan, saat itu keluarlah Surat Perintah Penyidikan (Sprindik). Pada 13 Januari 2015 pimpinan KPK, Abraham Samad dan Bambang Widjajanto mengumumkan lewat media massa atas penetapan tersangka Komjen Budi Gunawan.

Pada tanggal 19 Januari 2015 Budi Gunawan mendaftarkan gugatan pra peradilan terkait penetapan tersangka atas dirinya oleh KPK ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Tanggal 2 Februari 2015 Sidang gugatan pra peradilan Budi Gunawan dimulai di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Kemudian  tanggal 16 Februari 2015 Majelis Hakim PN Jakarta Selatan mengabulkan gugatan Budi Gunawan dan menyatakan penetapannya sebagai tersangka tidak sah dan tidak bersifat mengikat secara hukum.[2]



Posisi Kasus Budi Gunawan
Untuk dapat memahami apakah Hakim Sarpin tersebut telah melanggar kode etik hakim, penulis akan mengulas kasus posisi perkara yang disidangkan Hakim Sarpin. Pemohon perkara No. 04/Pid.Prap/2015/PN.Jkt.Sel adalah Komisaris Jenderal Polisi Drs. Budi Gunawan, S.H., M.si, sedangkan Termohon adalah Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK) diwakili oleh Pimpinan KPK. Adapun yang menjadi obyek Permohonan Pra-peradilan adalah penetapan Pemohon sebagai tersangka (cetak tebal oleh penulis), dalam arti bahwa Pemohon memohon agar penetapan tersangka atas dirinya dapat dibatalkan oleh lembaga pra-peradilan.

Terhadap permohonan Pemohon, Termohon mengajukan Jawaban dalam Eksepsi dan Dalam Pokok Perkara, salah satu eksepsi tersebut ialah menurut Termohon, obyek permohonan pra-peradilan bukan kewenangan hakim pra-peradilan. Sebelum menjatuhkan putusannya, Hakim Pra-peradilan membuat beberapa pertimbangan hukum (antara lain) sebagai berikut:
  1. Penetapan tersangka sebagai obyek pra-peradilan tidak diatur dalam perundang-undangan, sedangkan hakim tidak boleh menolak perkara dengan alasan hukum tidak mengatur maka hakim dapat melakukan penemuan hukum dengan metode penafsiran untuk menetapkan hukum yang semula tidak jelas menjadi jelas;
  2. Segala tindakan penyidik dalam proses penyidikan dan segala tindakan penuntut umum dalam proses penuntutan yang belum diatur dalam Pasal 77 jo. Pasal 82 ayat (1) jo. Pasal 95 ayat (1) dan ayat (2) KUHAP ditetapkan menjadi objek praperadilan dan lembaga hukum yang berwenang menguji keabsahan segala tindakan penyidik dalam proses penyidikan dan segala tindakan penuntut umum dalam proses penuntutan adalah lembaga pra-peradilan;
  3. Penetapan tersangka merupakan bagian dari rangkaian tindakan penyidik dalam proses penyidikan, di mana penetapan sebagai tersangka merupakan bagian dari upaya paksa, maka lembaga hukum yang berwenang menguji dan menilai keabsahan penetapan tersangka adalah lembaga pra-peradilan;
Atas pertimbangan-pertimbangan tersebut, Hakim Sarpin mengabulkan permohonan Budi Gunawan, yakni menyatakan bahwa penetapan tersangka Budi Gunawan oleh KPK adalah tidak sah dan tidak berdasarkan hukum dan oleh karenanya penetapan a quo tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.

Beberapa hal yang penulis perhatikan di atas ialah dalam pertimbangan Hakim Sarpin dicatat bahwa penetapan tersangka sebagai obyek praperadilan tidak diatur dalam perundang-undangan. Namun meski demikian, Hakim Sarpin tidak dapat menghentikan atau menolak perkara a quo begitu saja, sebab seorang hakim diberi wewenang untuk melakukan rechtsvinding. Hasil dari rechtsvinding, Hakim Sarpin menetapkan bahwa karena penetapan tersangka merupakan bagian dari rangkaian tindakan penyidik dalam proses penyidikan,[3] maka penetapan tersangka pun menjadi obyek dari pra-peradilan.

Pelanggaran Kode Etik Hakim Sapin
            Dari hasil penelusuran penulis, penulis mendapati bahwa kasus ini memang kasus yang sangat kontroversial. Sebagian berpendapat bahwa Hakim Sarpin telah melanggar kode etik hakim, dan sebagiannya lagi justru memuji Hakim Sarpin yang dianggap bersikap progresif, futuristik, dan telah melakukan penemuan hukum (rechtsvinding). Penulis sendiri sepemahaman dengan pendapat bahwa Hakim Sarpin ini tidak melanggar kode etik. Sebab mengapa? Sebab penulis tidak menemukan jenis pelanggaran kode etik apa yang dilakukan Hakim Sarpin. Penulis menilai, Hakim Sarpin sudah menjalankan sidang dari awal sampai akhir secara independen (tidak ada konflik kepentingan dan/atau intervensi dari pihak mana pun) dan sudah sesuai prosedur.

Peraturan Bersama Mahkamah Agung Republik Indonesia dan Komisi Yudisial Republik Indonesia Nomor  2/PB/MA/IX/2012 tentang Panduan Penegakan Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim lebih banyak melarang hakim untuk tidak berhubungan dengan orang-orang yang potensial mempengaruhi independensi hakim. Peraturan perundang-undangan tentang kode etik hakim tersebut memiliki prinsip antara lain independensi hakim dan pengadilan, praduga tidak bersalah, penghargaan terhadap profesi hakim dan pengadilan, transparansi, akuntabilitas, kehati-hatian dan kerahasiaan, objektivitas, efektivitas dan efisiensi, perlakuan yang sama, dan kemitraan.[4] Oleh karena itu, berdasarkan pemahaman penulis, putusan Hakim Sarpin terhadap kasus Budi Gunawan yang dinilai berani ialah tidak memiliki kaitan dengan pelanggaran kode etik, yakni tidak ada poin dalam aturan kode etik tersebut yang dilanggar oleh Hakim Sarpin.

Namun dari situs Gresnews, penulis memperoleh informasi bahwa Hakim Sarpin diduga melanggar Pasal 8 dan Pasal 10 Pedoman Kode Etik Hakim.[5] Kemudian dari situs lain, didapat informasi bahwa alasan Komisi Yudisial mengirimkan rekomendasi sanksi ke Mahkamah Agung perihal Sarpin ialah karena Sarpin terbukti melanggar kode etik dan pedoman perilaku hakim. Dalam putusan pra-peradilan Budi Gunawan, Sarpin dinilai tak teliti dan tidak profesional sebagai hakim. Pasalnya, Sarpin salah mencantumkan identitas guru besar Universitas Parahyangan, Arief Sidharta, sebagai ahli pidana, padahal semestinya ahli filsafat hukum. Komisi Yudisial menuding Sarpin tak rendah hati. Sebagai hakim, Sarpin justru menunjukkan sikap emosional dengan melontarkan kalimat kasar melalui media dan melaporkan sejumlah tokoh yang mengkritik putusannya ke polisi. Sarpin juga tak patuh kepada Komisi Yudisial dengan menolak hadir dalam pemeriksaan kasus dugaan pelanggaran etik. [6]

Berdasarkan situs lainnya, sejumlah LSM yang tergabung Koalisi Masyarakat Sipil mengadukan Hakim Sarpin ke KY. Sarpin diduga melanggar kode etik hakim saat mengadili permohonan pra-peradilan yang memenangkan gugatan Komisaris Jenderal Pol Budi Gunawan karena menabrak KUHAP. Alhasil, KY mengusulkan agar Sarpin dinonpalukan alias skorsing selama enam bulan karena ditemukan pelanggaran sejumlah prinsip dalam kode etik hakim.[7]

Meski memberikan sejumlah alasan perlunya memberi sanksi kepada Sarpin, namun Mahkamah Agung kukuh membela Hakim tersebut. Menurut Hatta, putusan Sarpin masuk dalam teknis yudisial, maka Komisi Yudisial tidak berwenang mengomentarinya. Rekomendasi tersebut salah sasaran. Hatta juga membela Sarpin untuk hal-hal lain yang dituduhkan KY. Meski demikian, menurut Ketua Divisi Riset Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia (MaPPI) Dio Ashar Wicaksana, kesalahan kutip kesaksian dan jabatan tak melulu soal teknis yudisial. Dalam kesalahan tersebut, ada unsur pelanggaran pedoman perilaku hakim. Sebagai seorang pemutus perkara, hakim wajib teliti dan profesional.[8]

Pasal 22 E ayat (1) Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2011 tentang Komisi Yudisial,‎ mewajibkan MA dan KY melakukan pemeriksaan bersama jika berbeda pendapat tentang sanksi bagi hakim, sehingga seharusnya atas kasus Hakim Sarpin tersebut, MA dan KY dapat melakukan atau menjadwalkan pemeriksaan bersama. Paling utama, kedua lembaga ini mestinya dapat membahas dan mengklasifikasikan perilaku hakim yang mana yang termasuk dalam ruang lingkup teknis yudisial dan mana yang termasuk dalam ruang lingkup pelanggaran kode etik.

Berdasarkan yang penulis pahami, persoalan Hakim Sarpin yang telah keliru dalam melakukan penemuan hukum (rechtsvinding) dengan menabrak KUHAP memang –menurut penulis- bukan merupakan pelanggaran kode etik profesi hakim. Hal tersebut lebih cenderung termasuk ke dalam ruang lingkup teknis yudisial. Hakim Sarpin dapat dikenai sanksi pelanggaran kode etik dengan tuntutan di luar itu, misalnya dengan tuntutan atau alasan karena Hakim Sarpin telah menunjukkan sikap emosional dengan melontarkan kalimat kasar melalui media dan melaporkan sejumlah tokoh yang mengkritik putusannya ke polisi. Hakim Sarpin dapat dituntut oleh Pasal 7 ayat (2) huruf a dan b[9]. Atas pelanggaran kode etik tersebut, Hakim Sarpin dapat diberi sanksi berupa sanksi ringan (teguran lisan, tertulis, dan pernyataan tidak puas secara tertulis).

Tanggapan Ahli mengenai Penemuan Hukum yang dilakukan oleh Hakim Sarpin
Berikut ialah Pasal 1 angka 10 Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), yakni Pasal yang mengatur kewenangan pra-peradilan:
  1. sah atau tidaknya suatu penangkapan dan atau penahanan, atas permintaan tersangka atau keluarganya atau pihak lain atas kuasa tersangka;
  2. sah atau tidaknya penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan atas permintaan yang berkepntingan demi tegaknya hukum dan keadilan; dan
  3. permintaan ganti kerugian atau rehabilitasi oleh tersangka atau keluarganya atau pihak lain atas kuasanya yang perkaranya tidak diajukan ke pengadilan.
Dengan demikian, terlihat jelas bahwa Pra-peradilan hanya disediakan oleh undang-undang untuk menguji kewenangan penyidik dalam melakukan penyidikan dan kewenangan penuntut umum dalam melakukan penuntutan, yaitu penangkapan, penahanan, penggeledahan, penyitaan, penghentian penyidikan, penutupan perkara demi hukum, dan penghentian penuntutan.  Obyek permohonan yang menjadi wewenang pra-peradilan menurut Pasal 1 angka 10, Pasal 77 sampai 88, dan Pasal 95 sampai 97 KUHAP tersebut telah sangat jelas dan limitatif. Limitasi tersebut tidak membuka peluang adanya obyek permohonan pra-peradilan lain diluar yang sudah ditentukan.[10]

Dikutip dari Hasil Eksaminasi Putusan Pra-peradilan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Nomor 04/PID.PRAP/2015/PN/JKT.SEL, Majelis Eksaminasi berpendapat bahwa mengingat obyek Permohonan Praperadilan yang diajukan Pemohon dalam perkara a quo adalah mengenai sah atau tidaknya penetapan tersangka, sementara Pasal 1 angka 10, Pasal 77 sampai Pasal 82, dan Pasal 95 sampai Pasal 97 KUHAP secara limitatif telah mengatur hal-hal apa saja yang menjadi wewenang Praperadilan, maka langkah Hakim Praperadilan melakukan rechtsvinding sudah tepat dan memang sudah seharusnya demikian, karena salah satu dari beberapa alasan perlunya melakukan penemuan hukum oleh hakim telah terpenuhi yaitu peraturannya tidak ada atau peraturannya memang ada tapi kurang jelas. Bahkan, tanpa alasan-alasan tersebut pun, seorang hakim tetap dianggap melakukan penemuan hukum (dalam arti sempit) yaitu ketika ia menemukan kecocokan antara maksud atau bunyi peraturan perundang-undangan dengan kualifikasi peristiwa atau kasus konkritnya.[11]

Dalam perkara a quo, Hakim Pra-peradilan secara tegas menyatakan dalam pertimbangan hukumnya bahwa sah atau tidaknya penetapan tersangka tidak termasuk obyek Pra-peradilan, dengan alasan hal tersebut tidak diatur baik dalam KUHAP khususnya Pasal 1 angka 10 jo. Pasal 77 jo. Pasal 82 ayat (1) jo. Pasal 95 ayat (1) dan ayat (2) maupun dalam peraturan perundang-undangan pidana khusus yang berlaku sebagai hukum positif di Indonesia. Atas alasan itu, penemuan hukum yang dilakukan oleh Hakim Pra-peradilan dilakukan karena dalam peraturan perundang-undangan yang ada, baik KUHAP maupun undang-undang lain, tidak mengatur masalah keabsahan penetapan tersangka sebagai obyek Praperadilan. Di sini terlihat, Hakim Praperadilan telah menempatkan dirinya bukan hanya sekadar corong undang-undang (qui pronoce les paroles de al loi) sebagaimana dikatakan Montesquieu, tetapi telah menerapkan hukum pidana sesuai dengan hukum yang hidup di dalam masyarakat.[12]

Seorang Hakim Tunggal Riyadi Sunindyo menolak seluruh permohonan pra-peradilan berkenaan dengan penetapan sebagai tersangka yang diajukan oleh Suroso Arto Martoyo, Mantan Direktur Pertamina, dengan pertimbangan hukum, bahwa penetapan tersangka dan sah atau tidaknya penyidikan bukan merupakan objek pra-peradilan. Tidak diaturnya penetapan tersangka atau tidak sahnya penyidikan bukan kekosongan hukum. KUHAP sudah jelas menetapkan objek pra-peradilan. KUHAP harus dibaca tekstual. Prinsip ini menutup kewenangan hakim untuk melakukan penafsiran secara bebas.[13]

Dr. Harifin Andi Putera (Ketua Mahkamah Agung Periode Tahun 2009 hingga 2012) dalam Diskusi KPK dan Masa Depan Pemberantasan Korupsi yang diselenggarakan oleh redaksi Kompas pada 27 Februari 2015 menyatakan menurut Pasal 77 KUHAP, penetapan sebagai tersangka bukan sebagai objek pra-peradilan. Oleh karena itu, Sarpin telah menerobos KUHAP. Beliau berpendapat, putusan Sarpin tidak dapat dikategorikan sebagai sebuah penemuan hukum. Pasalnya, penemuan hukum dilakukan jika Undang-undang tidak mengatur dengan jelas persoalan yang dihadapi hakim serta dilakukan untuk menafsirkan substansi hukum dan bukan masalah kewenangan.

Menurut Majelis Eksaminasi Lembaga Konsultasi dan Bantuan Hukum Fakultas Hukum Universitas Andalas, Hakim Sarpin telah keliru dalam memahami metode penafsiran hukum. Dalam pertimbangan hukumnya, Hakim Sarpin menuliskan bahwa “tidak ada ditemukan aturan yang mengatur kalau pengujian tentang sah atau tidaknya penetapan tersangka menjadi objek pra-peradilan”. Jika pertimbangan hukum Hakim Sarpin demikian, metode penemuan hukum yang seharusnya digunakan oleh Hakim Sarpin adalah metode konstruksi. Namun Hakim Sarpin justru memilih metode interpretasi atau penafsiran, dengan alasan untuk menetapkan hukum yang semula tidak jelas menjadi jelas. Oleh karena itu, Hakim Sarpin tampak seolah ingin mencampuradukkan antara metode interpretasi atau penafsiran dan metode konstruksi hukum.[14]

KUHAP dan peraturan perundang-undangan pidana lain yang ada sekarang belum atau tidak mengatur perihal keabsahan penetapan tersangka sebagai wewenang Pra-peradilan, sehingga bila ingin melakukan penemuan hukum, maka metode yang paling tepat untuk mengisi kekosongan hukum atau ketidaklengkapan undang-undang yang harus diisi atau dilengkapi oleh Hakim ini adalah metode konstruksi hukum. Melalui metode argumentum a’contrario sebagai salah satu dari metode konstruksi hukum, maka hanya hal-hal yang telah ditetapkan secara limitatif dalam Pasal 1 angka 10, Pasal 77 sampai Pasal 82, dan Pasal 95 sampai Pasal 97 KUHAP sajalah yang dapat dimohonkan Pra-peradilan, sedangkan peristiwa atau hal-hal yang tidak diatur –dalam hal ini sah atau tidaknya penetapan tersangka, berlaku sebaliknya alias tidak dapat dimohonkan Pra-peradilan karena hal-hal yang tidak diatur tersebut bukan merupakan obyek Pra-peradilan.[15]

Kemudian jika kita kaitkan dengan tujuan dari KUHAP itu sendiri, atau jika kita bertanya mengapa penetapan tersangka tidak ditetapkan sebagai obyek pra-peradilan dalam KUHAP, jawaban yang paling logis ialah bahwa KUHAP menurut Andi Hamzah menganut sistem akusator terbatas (gematighd accusatoir),[16] artinya tersangka atau terdakwa diposisikan oleh KUHAP sebagai manusia yang mempunyai harkat, martabat, dan kedudukan yang sama dihadapan hukum tetapi juga dibatasi oleh KUHAP. Pembatasan terhadap hak-hak tersangka tersebut merupakan bentuk perlindungan KUHAP terhadap hak-hak atau kepentingan masyarakat pada umumnya. Oleh karena itu, tidak dimasukkannya penetapan tersangka dalam Pasal 77 huruf a KUHAP adalah wujud perlindungan KUHAP terhadap hak-hak atau kepentingan masyarakat.[17]

Oleh karena itu, “penemuan hukum” oleh Hakim Sarpin adalah sebuah kekeliruan. Dapat dikatakan bahwa Hakim Sarpin telah melakukan konstruksi hukum (bukan interpretasi atau penafsiran hukum) dan telah menambahkan unsur objek norma (normgedrag) baru di dalam rangkaian Pasal 77 huruf a KUHAP, namun penambahan tersebut justru bertentangan dengan sistem dari KUHAP itu sendiri atau dengan tujuan yang dimiliki oleh Pasal 77 KUHAP.

Sementara itu dari hasil anotasi putusan yang diselenggarakan oleh oleh MaPPI FHUI[18], dinyatakan bahwa dalam penemuan hukum hakim dilarang merubah proses hukum acara, dengan adanya perubahan terhadap hukum acara maka hakim secara tidak langsung telah melanggar suatu ketentuan yang mengikatnya dan membuat tidak terdapat kepastian hukum dalam sistem peradilan, sehingga apa yang dilakukan Hakim Sarpin ialah tidak tepat dan batal demi hukum.

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan Fadjar Ramadhan dan Hanato Widodo (2015),[19] pertimbangan MK dalam Putusan Nomor 21/PUU-XII/2014 mengenai pengujian Pasal 77 huruf a KUHAP ditinjau dari konsep perlindungan hak konstitusional warga negara, MK dalam memasukkan penetapan tersangka sebagai objek pra-peradilan telah memberikan perlindungan hak konstitusional warga negara secara tidak seimbang, karena MK hanya mempertimbangkan kepentingan atau hak tersangka saja dan kurang memperhatikan kepentingan atau hak publik.


                [1] http://www.republika.co.id/berita/nasional/hukum/15/02/12/njndqu-ini-kronologi-proses-penetapan-budi-gunawan-jadi-tersangka diakses pada tanggal 14 Juni 2017.
                [2] http://www.bbc.com/indonesia/berita_indonesia/2015/02/150216_kronologi_bg_kpk diakses pada tanggal 14 Juni 2017.
                [3] Segala tindakan penyidik dalam proses penyidikan dan segala tindakan penuntut umum dalam proses penuntutan yang belum diatur dalam Pasal 77 jo. Pasal 82 ayat (1) jo. Pasal 95 ayat (1) dan ayat (2) KUHAP ditetapkan menjadi objek praperadilan.
                [4] Pasal 3 Peraturan Bersama Mahkamah Agung Republik Indonesia dan Komisi Yudisial Republik Indonesia Nomor  2/PB/MA/IX/2012 tentang Panduan Penegakan Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim.
                [5] http://www.gresnews.com/berita/hukum/140236-kasus-sarpin-pelanggaran-etika-atau-hukum-acara/0/ diakses pada tanggal 14 Juni 2017.
                [6] https://nasional.tempo.co/read/news/2015/08/20/063693525/feature-ketika-ma-membela-hakim-sarpin diakses pada tanggal 14 Juni 2017.
                [7] http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt55d569e272c6c/ma-tolak-rekomendasi-sanksi-hakim-sarpin diakses pada tanggal 14 Juni 2017.
                [8] https://nasional.tempo.co/read/news/2015/08/20/063693525/feature-ketika-ma-membela-hakim-sarpin diakses pada tanggal 14 Juni 2017.
                [9] Pasal 7 ayat (2) huruf a. Hakim wajib menghindari tindakan tercela; b. Hakim, dalam hubungan pribadinya dengan anggota profesi lain yang secara teratur beracara di pengadilan, wajib menghindari situasi yang dapat menimbulkan kecurigaan atau sikap keberpihakan.
                [10] Prof. Dr. Elwi Daniel, S.H., M.H, dkk., Hasil Eksaminasi Putusan Praperadilan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Nomor 04/PID.PRAP/2015/PN/JKT.SEL, Lembaga Konsultasi dan Bantuan Hukum (LKBH) Fakultas Hukum Universitas Andalas, 2015.
                [11] Ibid.
                [12] Ibid.
                [13] Carla Gosal, Kajian Hukum tentang Putusan Sah atau Tidaknya Penetapan Tersangka dalam Praperadilan (Suatu Studi tentang Putusan Nomor 04/Pid/Prap/2015/PNJKT.SEL, Lex Administratum, Vol. IV/No. 3/Mar/2016, hlm. 24
                [14] Prof. Dr. Elwi Daniel, S.H., M.H, dkk., Hasil Eksaminasi Putusan Praperadilan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Nomor 04/PID.PRAP/2015/PN/JKT.SEL, Lembaga Konsultasi dan Bantuan Hukum (LKBH) Fakultas Hukum Universitas Andalas, 2015.
                [15] Ibid.
                [16] Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia, edisi kedua, (Jakarta: Sinar Grafika, 2008), hlm. 71.
                [17] Fadjar Ramadhan dan Hanato Widodo, Analisis Yuridis Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 21 PUU-XII/2014 dalam Menguji Pasal 77 Huruf A Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana terkait Fungsi Mahkamah Konstitusi sebagai Positive Legislator, Universitas Negeri Surabaya, 2014.  hlm. 7
                [18] Prof. Dr. Elwi Daniel, S.H., M.H, dkk., Hasil Eksaminasi Putusan Praperadilan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Nomor 04/PID.PRAP/2015/PN/JKT.SEL, Lembaga Konsultasi dan Bantuan Hukum (LKBH) Fakultas Hukum Universitas Andalas, 2015.
                [19] Ibid.

Komentar

Postingan Populer