Pemikiran Ekonomi Islam: Abdul Mannan dan Ibnu Khaldun


Mannan pada dasarnya ialah sosok neo-klasik, pencerminan dari output pendidikan ekonomi konvensional yang ia terima. Mannan lebih memilih mengambil atau “meminjam” pemikiran ekonomi barat yang lebih radikal, berbeda dengan ahli ekonomi Islam lain, seperti Kahf dan Siddiqi yang lebih memilih menggabungkan fiqih dan pendekatan neo-klasik.

Mannan menegaskan ekonomi Islam merupakan ilmu pengetahuan yang mempelajari masalah-masalah ekonomi rakyat yang berasaskan norma dan nilai-nilai dasar Islam. Menurutnya, sistem produksi sebuah negara Islam harus dikendalikan dengan kriteria objektif maupun subjektif. Kriteria objektif diukur dengan kesejahteran material yang dapat diperoleh dan dirasakan bersama segenap komponen masyarakat, sedangkan kriteria subjektif harus tercermin dalam kesejahteraan yang dinilai dari segi etika yang berlaku dalam ekonomi Islam.

Sementara faktor produksi pada umumnya dan tenaga kerja pada khususnya tidak pernah terpisah dari kehidupan moral dan sosial. Mannan juga berprinsip bahwa pemilik mutlak segala sesuatu yang ada di langit dan di bumi adalah Allah, sedangkan manusia hanya khilafah di bumi. Oleh karenanya Islam tidak mengizinkan sewa tanah, upah tidak adil, dan kelas kapitalis (borjuis).

Menurut Mannan, Islam memperkenankan laba biasa bukan laba monopoli atau laba yang timbul dari praktek spekulasi. Berdasarkan pada jurnal yang ditulis oleh Hunafa, dinyatakan bahwa pandangan Mannan terhadap perlunya surplus produksi agak bias dan membingungkan secara ekonomis. Demikian pula, pemanfaatan sumber daya secara maksimal tidak diterangkan dengan jelas. Ia menyebutkan bahwa sekalipun firm akan menghasilkan output pada tingkat di mana marginal cost sama dengan marginal revenue, tingkat itu tidaklah harus merupakan tingkat output yang memaksimalkan laba. Itu berarti bahwa para produsen dapat memproduksi terlalu banyak (overproduce) untuk memenuhi tujuan-tujuan lain seperti penciptaan lapangan kerja dan penyediaan output ekstra (surplus produksi). Lebih jauh, usaha ini bermakna bahwa produksi tidak dilakukan hanya sebagai tanggapan atas permintaan pasar, melainkan juga didorong oleh pemenuhan kebutuhan dasar.

Jadi, Mannan tidak membolehkan Islamic man untuk mengambil keuntungan pada tingkat yang menekan konsumen dan menguntungkan produsen, produsen hanya dapat mengambil keuntungan pada tingkat yang wajar baik bagi konsumen maupun produsen. Adapun meningkatkan jumlah output produksi bukan berarti bahwa produsen ingin meningkatkan jumlah keuntungannya, melainkan untuk memenuhi permintaan pasar.

Dalam bukunya “Masa Depan Ekonomi Islam” Umar Chapra mengulas pemikiran Ibnu Khaldun mengenai hubungan Negara, Rakyat, Kekayaan alam dan keadilan. Coba anda uraikan pemikiran Ibnu Khaldun tersebut dan menurut anda apakah unsur-unsur tersebut sudah memenuhi untuk tercapainya kemakmuran dan keadilan ekonomi di Indonesia!

Berdasarkan pada data sekunder (buku yang berjudul Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam karya Dr. Euis Amalia), penulis mendapati bahwa Umar Chapra mengkritik keras mazhab ekonomi konvensional, yakni sosialisme dan kapitalisme. Di samping itu, Chapra juga menulis tentang filsafat negara sejahtera (welfare state) dan istilah pareto optimum. Ia memberikan konsep bahwa perangkat negara sejahtera ialah regulasi, nasionalisme, gerakan buruh, kebijakan fiskal, pertumbuhan yang tinggi, dan persoalan pengangguran yang teratasi (full employement) dan menjelaskan bahwa pareto optimum ialah ekonomi efisien dan optimal jika negara dapat memaksimalkan sumber daya manusia (SDM) dengan materi/sumber daya alam (SDA) yang terbatas.

Penulis mengaitkan pemikiran Chapra tentang welfare state dan pareto optimum di atas dengan pemikiran Ibnu Khaldun mengenai hubungan negara, rakyat, kekayaan alam, dan keadilan yang dipaparkan dalam Muqadimah. Ibnu Khaldun mencatat bahwa negara dapat berdiri karena adanya rasa nasionalisme (group feeling), ia menerangkan bagaimana beberapa dinasti[1] runtuh sebab rasa nasionalisme yang terkikis. Pemikiran ini selaras dengan perangkat welfare state, yakni nasionalisme. Hubungan antara pemerintah dan rakyat harus terjalin dengan baik, hubungan yang baik tersebut hanya bisa ditopang dengan group feeling.

Ibnu Khaldun membagi keahlian berpikir manusia dalam tiga jenjang, yaitu jenjang pertama: kemampuan dalam mengenali benda yang ada di sekitarnya, jenjang kedua: kemampuan sosial, dan yang terakhir: kemampuan berpikir dan berkreasi. Keahlian berpikir manusia ini merupakan anugerah Allah yang hanya diberikan kepada manusia, sehingga dengan anugerah ini manusia dapat menciptakan kebutuhannya dan menunjang kecenderungannya sebagai makhluk sosial, politik, dan ekonomi. Pemikiran Ibnu Khaldun tentang daya pikir ini sesuai dengan pareto optimum, yakni manusia dapat memenuhi kebutuhan ekonominya dengan memaksimalkan materi yang ada atau mengkreasikan materi itu dengan keahlian dan ilmu.

Ibnu Khaldun menjelaskan dengan gamblang apa itu ketidakadilan. Ia meletakan konsep keadilan yang komprehensif dan jelas batasannya, serta menegaskan akibat dari lost all incentive (masyarakat yang dirugikan oleh peraturan pajak pemerintah). Oleh karenanya, penulis memahami bahwa Ibnu Khaldun menjelaskan hubungan antara pemerintah dan rakyat dalam mengembangkan perekonomian negara yang adil dan maju. Berikut paragraf Muqadimah yang menerangkan ketidakadilan tersebut.
“Injustice should not be understood to imply only the confiscation of money or other property from the owners, without compensation and without cause. It is commonly understood in that way, but it is something more general than that. Whoever takes someone's property, or uses him for forced labor, or presses an unjustified claim against him, or imposes upon him a duty not required by the religious law, does an injustice to that particular person. People who collect unjustified taxes commit an injustice. Those who infringe upon property (rights) commit an injustice. Those who take away property commit an injustice. Those who deny people their rights commit an injustice. Those who, in general, take property by force, commit an injustice. It is the dynasty that suffers from all these acts, in as much as civilization, which is the substance of the dynasty, is ruined when people have lost all incentive.”

Kurang lebih maksud dari paragraf di atas ialah: ketidakadilan tidak hanya sebatas pada kerugian yang dialami seseorang yang hartanya dirampas atau disita dengan paksa, tapi ketidakadilan dapat dipahami dalam lingkup yang lebih luas dari itu. Siapa saja yang mengambil harta orang lain, memperkerjakan orang secara paksa, dan memaksa orang untuk melakukan tindakan melanggar hukum, telah melakukan ketidakadilan terhadap orang pribadi. Orang yang memungut pajak ilegal, melanggar hak orang lain, serta dinasti yang menetapkan pajak yang merugikan rakyat  juga telah melakukan ketidakadilan.

Pemikiran Ibnu Khaldun ini dapat dianggap sebagai konsep dasar dalam membentuk suatu negara yang adil dan maju. Artinya, negara sejahtera (welfare state) ditopang oleh rasa nasionalisme yang kokoh, sumber daya manusia (tenaga kerja/gerakan buruh) dan sumber daya alam yang teroptimalkan, serta regulasi dan kebijkaan fiskal yang adil. Konsep ini jelas dapat dipertimbangkan untuk kemajuan Indonesia, utamanya Indonesia perlu meletakan batasan ketidakadilan atau batasan mana yang masih wajar (bermoral) dan mana yang tidak.

[1] Dinasti Abasiyyah, Sinhajah di Maghribi, dan Umayyah di Spanyol.

Komentar

Postingan Populer