Nasihat Emha Ainun Nadjib untuk Mahasiswa KKN
Egosentrisme
Ketika sejumlah mahasiswa dari kota ber-KKN di desa itu, Pak Guru Mataki mengalami perasaan yang bercampur aduk. Ada rasa simpati, ada rasa haru, tapi juga ada rasa geli.
Para mahasiswa itu datang dengan penuh iktikad baik, tentu saja, dan Pemerintah memang menginisiatifi kuliah kerja nyata ini untuk suatu itikad baik yang tak diragukan lagi. Institusi dan mekanisme kependidikan tumbuh berakar di kehidupan masyarakat. Masyarakat adalah Ibu Utama para anak didik bangsa, kepada siapa mereka harus menumpahkan pengabdiaannya.
Akan tetapi rentang-rentang nilai, letak kordinat sosial, perbedaan sumber tradisi dan disiplin pada kalangan lapis sosial yang berbeda membuat itikad baik itutidak senantiasa bisa ditemukan modus konkretnya.
Wah, seandainya saja Pak Guru Mataki itu orang pandai! Ia tentu bisa menuliskan disertasi hasil penelitian empirik tentang itu semua. Dijamin akan lebih bermutu dibanding karya ilmuwan dari langit yang melancong sejenak ke bumi kemudian memakai di dadanya emblim sebagai sarjana atau supersarjana.
“Berapa pun, seorang petani memiliki otentisitas pengetahuan tentang dirinya sendiri dibanding ahli pertanian....,” kata Pak Guru Mataki dalam hatinya, namun tak berani ia ucapkan kepada siapa pun, juga kepada para mahasiswa yang ber-KKN itu.
Jadi kenapa Pak Mataki merasa bersimpati, terharu, tapi juga geli?
Bersimpati karena itikad baik mereka untuk “membimbing” rakyat dusun untuk “menjuru”. Tetapi terharu karena bagaimanapun mereka adalah “anak kecil” di “usia tua peradaban” masyarakat dusun yang mereka datangi itu.
Akhirnya terdapat hal-hal yang menggelikan. Mereka membawa sejumlah ide “tempelan” tentang formula-formula superfisial dari yang disebut kemajuan yang sesungguhnya tidak sungguh-sungguh dibutuhkan oleh rakyat desa. Itu pun tak dilandasi oleh pengetahuan dan kesanggupan untuk mentransformasikan ide-ide itu ke dalam tahap-tahap konkret kehidupan masyarakat setempat.
Jadinya seringkali yang mereka tawarkan adalah “paket ide” dari “kota”, semacam “kembang plastik” yang sudah pasti belum tentu bisa ditanam di “tanah”. Dan karena sukar tumbuh, lama-lama yang terasa membekas dari mahasiswa KKN hanyalah akulturasi jenis-jenis tertentu dari budaya kota.
Kalau kebetulan mahasiswa yang datang tergolong “tidak memiliki tradisi intelektual” maka yang mereka ajarkan hanyalah “mejeng” dan nampang. Tetapi kalau yang datang itu tergolong “pandai”, maka yang terasa adalah kepandaian berbicara.
Anak-anak dari kota pandai omong, orang-orang desa ”hanya” bisa berbuat. Tetapi itu masih bagus dibanding sebagian mahasiswa KKN yang sudah dua bulan KKN yang diperolehnya adalah jodoh anak Pak Kamituwo, atau terkadang skandal.
“Kekeliruan awal mendasar dari segala macam ini,” kata Pak Guru Mataki, “adalah GR para mahasiswa ini yang hadir ke desa sebagai orang pintar yang akan mengajari. Kita bukan membalik posisi itu dengan mengatakan bahwa orang desalah yang semestinya mengajari para mahasiswa. Saya ingin mengatakan bahwa sebaiknya para mahasiswa dan rakyat desa sadar untuk saling belajar dan mengajari.”
Bukan hanya belajar “ilmu kehidupan” tetapi juga belajar menemukan sikap sosial yang tepat.
“Jangan sampai sesudah dua bulan tinggal di desa, para mahasiswa ini lantas sudah merasa cukup pengabdian diri kepada masyarakatnya, sehingga sesudah itu merasa absah untuk bekerja buat egosentrisme dirinya sendiri saja!”
Pak Guru Mataki bukan seorang yang cukup terdidik oleh tingkat-tingkat persekolahan, tetapi ia adalah manusia yang rajin mengaktifkan akalnya. Sebodoh-bodohnya ia, namun cukup dengan menggunakan intuisinya saja Pak Mataki dapat mengetahui bahwa filosofi “karier” yang berjangkit pada masyarakat kota sebenarnya merupakan legalisasi kultural dari semangat egosentrisme yang asosial. “Mereka cari kenaikan karier, pangkat, dan perolehan uang, dengan cara menyerap dan menunggangi apa saja demi kepentingan pribadi,” demikian ia menyimpulkan.
Mengubah Desa Mengubah Negara
Tidak benar juga kalau lantas rakyat desa itu meremehkan para mahasiswa KKN. Mentan-mentang anak terpelajar dari kota dibilang justru harus belajar banyak dari masyarakat desa, lantas orang desa jadi lebih besar kepala.
Pak Guru Mataki sadar betul hal itu, sehingga ia justru memelopori upaya belajar dari para mahasiswa KKN. Juga karena itu selama ini Pak Mataki merintis berbagai pembaruan di desa, baik dalam metode-metode pembelajaran di sekolah, maupun dalam kehidupan desa pada umumnya.
Kalau Pak Guru merasa Guru ia terancam konservatifme dan sikap statis. Hasil mentalitasnya adalah ketertutupan dan keangkuhan, meskipun itu bisa diungkapkan dengan pola-pola yang seolah-olah rendah hati seperti “padi makin tua makin merunduk”.
Sebelum menentukan ilmu dan pilihan-pilihan anak muda terpelajar dari kota justru harus dilihat sebagai gejala dinamika kreatif. Anak-anak itu berada pada fase mencari, sehingga memang selayaknya kalau kepada penduduk dusun pun mereka mau belajar.
Juga segala kemapanan dalam kehidupan desa harus juga dipandang sebagai kemandekan, sikap statis dan ketertutupan. Maka tidak benar dan tidak baik kalau ada anggapan umum di desa bahwa mahasiswa-mahasiswa KKN itu hanya pinter omong dan lantasi anggapan itu dinikmati beramai-ramai seperti kenduri di rumah Pak Haji. Mereka perlu senantiasa mempertanyakan anggapan mapan itu, senantiasa menguji, dan syukur memperbaiki sesuatu yang selayaknya diperbaik. Itulah sebabnya maka ketika para mahasiswa itu berinisiatif membentuk tradisi sarahsehan serta kelompok diskusi, Pak Guru Mataki menyambut dengan penuh gairah. Ketemu siapa pun saja, terutama anak-anak muda, di desa itu selalu ia anjurkan agar ikut aktif dalam sarasehan dan diskusi.
Memang tema-tema yang dipilih mahasiswa itu sering muluk-muluk. Para penduduk kurang paham dan sebagian menjadi apriori. Tetapi itu bukan alasan untuk menolak tradisi yang memang bagus itu.
‘kan orang desa perlu belajar merumuskan pikiran-pikirannya sendiri. Perlu membiasakan diri mengartikulasikan persoalan-persoalan mereka sendiri. Makin seseorang pandai merumuskan dirinya, makin matang pula pengetahuannya tentang diri sendiri dan tentang lingkungannya. Soal topik yang muluk-muluk dan suka pakai bahasa asing itu kan bisa diatasi. Toh dalam aturan diskusi setiap peserta berhak ikut menentukan tema apa yang sebaiknya diperbincangkan. Siapa saja boleh menolak dan usul.
“Kita bisa saja tidak menerima usulan topik Pemuda Desa dalam Era Tinggal Landas, misalnya,” kata Pak Guru Mataki kepada anak-anak muda di gardu suatu sore, “kita ganti saja dengan umpamanya kenapa sekarang makin sedikit burung yang masih hidup, atau kenapa sungan desa kita jauh lebih kotor dibanding sepuluh tahun yang lalu.”
Sesudah ngobrol dengan Pak Mataki, anak-anak muda dusun itu malah mengusulkan berbagai topik menarik. Misalnya, kenapa sesudah 12 tahun, balai desa tidak kunjung jadi, padahal hampir tiap tahun tarikan iuran diselenggerakan terus menerus; kenapa pak lurah tidak bertanya kepada rakyatnya; siapa yang berasnya sudah habis? Siapa anaknya sakit dan tak punya uang untuk ke dokter? dan seterusnya.
Ternyata anak-anak muda desa, termasuk juga tidak sedikit kaum tua, makin lama makin merasa asyik dengan tradisi baru itu. Biasanya mereka juga berdiskusi rutin di gardu, di buk (pagar jembatan) depan rumah, di mushala, atau di mana saja. Tapi sekarang segala sesuatunya lebih tertata. Mereka masih mendapatkan sesuatu yang baru yang seolah-olah “melahirkan diri mereka kembali” di dunia.
Cuma sayangnya banyak topik usulan yang ditolak para mahasiswa karena pertimbangan “keamanan”, “tak enak sama pak lurah” dan seterusnya.
“Payah!” Pak Mataki protes, “kalau di tingkat desa saja kalian tak berani, bagaimana mau mengubah negara?”
Ilmu Meningkat, Jiwa Meluas
Dengan segala keterbatasan ilmu dan pengetahuannya, serta dengan seluruh ungkapannya yang terbodoh-bodoh, Pak Guru Mataki tampak selalu "nekad" melibatkan dirinya dalam acara-acara sarasehan dan diskusi yang diselenggarakan oleh para mahasiswa KKN yang penuh semangat itu.
Bukan hanya untuk memberi contoh bagi kaum muda desa, tapi juga Pak Mataki ini memiliki gairah mencari ilmu yang sangat besar. Ia sangat bersemangat bertanya dan membantah atau mempertanyakan sesuatu yang tak dimengerti olehnya maupun yang tidak cocok dengan pandangannya. Pak Guru Mataki tahu bahwa dengan hidup di desa, pasti ia akan potensial untuk "kuper" atau "ketinggalan kereta" dalam soal ilmu dan informasi, maka disamping selalu meningkatkan daya analisis ketika nonton televisi, mendengarkan radio serta membaca satu dua koran yang kebetulan masuk desa, Pak Mataki merasa memperoleh rejeki besar dengan datangnya para anak pandai dari kota.
"Mumpung masih ada mahasiswa yang ber-KKN di desa kita," katanya setiap kali kepada Guru-guru lain atau siapa saja yang dijumpainya, "kita serap ilmu dan informasi dari mereka sebanyak-banyaknya."
"Kok pakai filsafat mumpungisme?" Bantah mereka, terkadang.
"Kalau soal mencari ilmu," jawab Pak Mataki, "itu luhur dan perlu."
Ada yang membantahnya dengan ilmu agama yang bagus. "Kan," katanya, "Tuhan sudah langsung menganugerahi kita ilmu dan informasi melalui alam, diri manusia sendiri, serta firman-firman-Nya."
"Bagus!" Jawab Pak Mataki, "itu informasi dari Tuhan. Kita sebagai wakil beliau di desa ini, harus merekayasa juga pengembangan dan penerjemahan ilmu dan informasi itu. Orang dan kaum cerdik pandai menerjemahkan ayat-ayat Tuhan melalui buku-buku, hasil penelitian, koran, majalah, teve, radio, dan lain-lain. Kita tak boleh ketinggalan jaman!"
"Tetapi dengan penerjemahan modern seperti itu, orang kota tidak pasti menjadi lebih pandai atau lebih baik, arif, dan matang kepribadiannya. Buktinya segala yang paling rusak dari kehidupan ini kebanyakan terjadi di kota-kota!"
Bahagia sekali Pak Mataki dibantah seperti itu. "Justru karena itu kita harus mencapai taraf keilmuan yang sama dengan orang kota, sebab kalau kita punya ilmu dan informasi, kan tidak akan kita gunakan untuk merusak kehidupan seperti yang banyak mereka lakukan!"
Orang-orang dusun itu makin lama makin kritis, makin mampu berani menyodorkan pertanyaan, membantah, dan mendebat. Terutama Pak Guru Mataki sendiri.
Sedemikian rupa sehingga pada suatu hari mahasiswa itu dibikin pusing. Terutama mahasiswa yang biasa dengan diskusi ilmiah dan akademis: suasana dan mekanisme diskusi di dusun itu terasa "kusir" dan tak menentu disiplinnya. Apalagi Pak Guru Mataki itu nekad dan selalu menabrak-nabrak saja seperti kerbau liar kalau sudah asyik mendebat.
"Susah kalau kita harus menyesuaikan diri pada keawaman mereka," berkata salah seorang mahasiswa.
Anggapan dan sikap seperti itu akhirnya ditangkap oleh Pak Mataki. Dan ketika muncul peluang pada suatu diskusi ia berkata sangat keras:
"Kalian ini anak-anak muda yang terdidik dan menjadi jauh lebih pandai dari kami. Jadi kenapa kalian meremehkan kami? Kenapa kalian meminta kami orang-orang bodoh ini menyesuaikan diri pada taraf dan disiplin ilmu kalian? Apa tidak terbalik? Bukankah seharusnya orang pandai yang menyesuaikan diri kepada orang bodoh. Apa gunanya kepandaian kalau tidak digunakan untuk menampung orang bodoh? Apa gunanya ilmu kalau dengan itu kalian meminta kami yang tak berilmu ini untuk mengabdi kepada kalian dan selalu menyesuaikan diri kepada kalian?"
"Aku Mataki, Guru SD di desa ini, tidak paham pada sikap kalian. Kalian sudah punya ilmu tinggi, tapi dengan itu kalian malah juga meninggikan diri kalian sehingga kami harus mengabdi kepada kalian. Kalau begitu orang berilmu sama saja dengan orang berpangkat, sama saja dengan pejabat, sama dengan priyayi, sama dengan raja, di mana rakyat kecil harus menampung semua kehendaknya dan menyesuaikan seluruh perilaku kepada yang kalian kehendaki. Aku tidak paham."
"Sepengetahuanku yang bodoh ini, kalau orang meningkat ilmunya, maka jiwanya menjadi luas dan kepribadiannya menjadi matang. Karena keluasan dan kematangannya, maka ia mampu menampung kesempitan orang-orang macam kami. Tapi yang terjadi sekarang ini terbalik. Kami orang-orang bodoh malah harus menyediakan keluasan, kesabaran, dan kematangan untuk menampung kehendak-kehendak kalian. Lantas apa bedanya kalian dengan para dokter? Para penguasa?"
Sungguh kaget para mahasiswa itu mendengar ungkapan Pak Guru Mataki.
Tulisan ini merupakan tulisan Emha Ainun Nadjib di bukunya yang berjudul "Gelandangan di Kampung Sendiri".
Demikian tulisan Cak Nun yang saya ambil dari buku beliau.
Walakhir, saya berharap semoga kita semua menjadi orang yang berilmu dan berjiwa luas, menjadi sosok yang tidak egois, menjadi pemimpin sosial :) (Amin....)
GOOD LUCK UNTUK MAHASISWA YANG BER-Kuliah Kerja Nyata...
GOOD LUCK UNTUK KKN LASKAR 035 UIN JAKARTA!!! :) :D
Ketika sejumlah mahasiswa dari kota ber-KKN di desa itu, Pak Guru Mataki mengalami perasaan yang bercampur aduk. Ada rasa simpati, ada rasa haru, tapi juga ada rasa geli.
Para mahasiswa itu datang dengan penuh iktikad baik, tentu saja, dan Pemerintah memang menginisiatifi kuliah kerja nyata ini untuk suatu itikad baik yang tak diragukan lagi. Institusi dan mekanisme kependidikan tumbuh berakar di kehidupan masyarakat. Masyarakat adalah Ibu Utama para anak didik bangsa, kepada siapa mereka harus menumpahkan pengabdiaannya.
Akan tetapi rentang-rentang nilai, letak kordinat sosial, perbedaan sumber tradisi dan disiplin pada kalangan lapis sosial yang berbeda membuat itikad baik itutidak senantiasa bisa ditemukan modus konkretnya.
Wah, seandainya saja Pak Guru Mataki itu orang pandai! Ia tentu bisa menuliskan disertasi hasil penelitian empirik tentang itu semua. Dijamin akan lebih bermutu dibanding karya ilmuwan dari langit yang melancong sejenak ke bumi kemudian memakai di dadanya emblim sebagai sarjana atau supersarjana.
“Berapa pun, seorang petani memiliki otentisitas pengetahuan tentang dirinya sendiri dibanding ahli pertanian....,” kata Pak Guru Mataki dalam hatinya, namun tak berani ia ucapkan kepada siapa pun, juga kepada para mahasiswa yang ber-KKN itu.
Jadi kenapa Pak Mataki merasa bersimpati, terharu, tapi juga geli?
Bersimpati karena itikad baik mereka untuk “membimbing” rakyat dusun untuk “menjuru”. Tetapi terharu karena bagaimanapun mereka adalah “anak kecil” di “usia tua peradaban” masyarakat dusun yang mereka datangi itu.
Akhirnya terdapat hal-hal yang menggelikan. Mereka membawa sejumlah ide “tempelan” tentang formula-formula superfisial dari yang disebut kemajuan yang sesungguhnya tidak sungguh-sungguh dibutuhkan oleh rakyat desa. Itu pun tak dilandasi oleh pengetahuan dan kesanggupan untuk mentransformasikan ide-ide itu ke dalam tahap-tahap konkret kehidupan masyarakat setempat.
Jadinya seringkali yang mereka tawarkan adalah “paket ide” dari “kota”, semacam “kembang plastik” yang sudah pasti belum tentu bisa ditanam di “tanah”. Dan karena sukar tumbuh, lama-lama yang terasa membekas dari mahasiswa KKN hanyalah akulturasi jenis-jenis tertentu dari budaya kota.
Kalau kebetulan mahasiswa yang datang tergolong “tidak memiliki tradisi intelektual” maka yang mereka ajarkan hanyalah “mejeng” dan nampang. Tetapi kalau yang datang itu tergolong “pandai”, maka yang terasa adalah kepandaian berbicara.
Anak-anak dari kota pandai omong, orang-orang desa ”hanya” bisa berbuat. Tetapi itu masih bagus dibanding sebagian mahasiswa KKN yang sudah dua bulan KKN yang diperolehnya adalah jodoh anak Pak Kamituwo, atau terkadang skandal.
“Kekeliruan awal mendasar dari segala macam ini,” kata Pak Guru Mataki, “adalah GR para mahasiswa ini yang hadir ke desa sebagai orang pintar yang akan mengajari. Kita bukan membalik posisi itu dengan mengatakan bahwa orang desalah yang semestinya mengajari para mahasiswa. Saya ingin mengatakan bahwa sebaiknya para mahasiswa dan rakyat desa sadar untuk saling belajar dan mengajari.”
Bukan hanya belajar “ilmu kehidupan” tetapi juga belajar menemukan sikap sosial yang tepat.
“Jangan sampai sesudah dua bulan tinggal di desa, para mahasiswa ini lantas sudah merasa cukup pengabdian diri kepada masyarakatnya, sehingga sesudah itu merasa absah untuk bekerja buat egosentrisme dirinya sendiri saja!”
Pak Guru Mataki bukan seorang yang cukup terdidik oleh tingkat-tingkat persekolahan, tetapi ia adalah manusia yang rajin mengaktifkan akalnya. Sebodoh-bodohnya ia, namun cukup dengan menggunakan intuisinya saja Pak Mataki dapat mengetahui bahwa filosofi “karier” yang berjangkit pada masyarakat kota sebenarnya merupakan legalisasi kultural dari semangat egosentrisme yang asosial. “Mereka cari kenaikan karier, pangkat, dan perolehan uang, dengan cara menyerap dan menunggangi apa saja demi kepentingan pribadi,” demikian ia menyimpulkan.
Mengubah Desa Mengubah Negara
Tidak benar juga kalau lantas rakyat desa itu meremehkan para mahasiswa KKN. Mentan-mentang anak terpelajar dari kota dibilang justru harus belajar banyak dari masyarakat desa, lantas orang desa jadi lebih besar kepala.
Pak Guru Mataki sadar betul hal itu, sehingga ia justru memelopori upaya belajar dari para mahasiswa KKN. Juga karena itu selama ini Pak Mataki merintis berbagai pembaruan di desa, baik dalam metode-metode pembelajaran di sekolah, maupun dalam kehidupan desa pada umumnya.
Kalau Pak Guru merasa Guru ia terancam konservatifme dan sikap statis. Hasil mentalitasnya adalah ketertutupan dan keangkuhan, meskipun itu bisa diungkapkan dengan pola-pola yang seolah-olah rendah hati seperti “padi makin tua makin merunduk”.
Sebelum menentukan ilmu dan pilihan-pilihan anak muda terpelajar dari kota justru harus dilihat sebagai gejala dinamika kreatif. Anak-anak itu berada pada fase mencari, sehingga memang selayaknya kalau kepada penduduk dusun pun mereka mau belajar.
Juga segala kemapanan dalam kehidupan desa harus juga dipandang sebagai kemandekan, sikap statis dan ketertutupan. Maka tidak benar dan tidak baik kalau ada anggapan umum di desa bahwa mahasiswa-mahasiswa KKN itu hanya pinter omong dan lantasi anggapan itu dinikmati beramai-ramai seperti kenduri di rumah Pak Haji. Mereka perlu senantiasa mempertanyakan anggapan mapan itu, senantiasa menguji, dan syukur memperbaiki sesuatu yang selayaknya diperbaik. Itulah sebabnya maka ketika para mahasiswa itu berinisiatif membentuk tradisi sarahsehan serta kelompok diskusi, Pak Guru Mataki menyambut dengan penuh gairah. Ketemu siapa pun saja, terutama anak-anak muda, di desa itu selalu ia anjurkan agar ikut aktif dalam sarasehan dan diskusi.
Memang tema-tema yang dipilih mahasiswa itu sering muluk-muluk. Para penduduk kurang paham dan sebagian menjadi apriori. Tetapi itu bukan alasan untuk menolak tradisi yang memang bagus itu.
‘kan orang desa perlu belajar merumuskan pikiran-pikirannya sendiri. Perlu membiasakan diri mengartikulasikan persoalan-persoalan mereka sendiri. Makin seseorang pandai merumuskan dirinya, makin matang pula pengetahuannya tentang diri sendiri dan tentang lingkungannya. Soal topik yang muluk-muluk dan suka pakai bahasa asing itu kan bisa diatasi. Toh dalam aturan diskusi setiap peserta berhak ikut menentukan tema apa yang sebaiknya diperbincangkan. Siapa saja boleh menolak dan usul.
“Kita bisa saja tidak menerima usulan topik Pemuda Desa dalam Era Tinggal Landas, misalnya,” kata Pak Guru Mataki kepada anak-anak muda di gardu suatu sore, “kita ganti saja dengan umpamanya kenapa sekarang makin sedikit burung yang masih hidup, atau kenapa sungan desa kita jauh lebih kotor dibanding sepuluh tahun yang lalu.”
Sesudah ngobrol dengan Pak Mataki, anak-anak muda dusun itu malah mengusulkan berbagai topik menarik. Misalnya, kenapa sesudah 12 tahun, balai desa tidak kunjung jadi, padahal hampir tiap tahun tarikan iuran diselenggerakan terus menerus; kenapa pak lurah tidak bertanya kepada rakyatnya; siapa yang berasnya sudah habis? Siapa anaknya sakit dan tak punya uang untuk ke dokter? dan seterusnya.
Ternyata anak-anak muda desa, termasuk juga tidak sedikit kaum tua, makin lama makin merasa asyik dengan tradisi baru itu. Biasanya mereka juga berdiskusi rutin di gardu, di buk (pagar jembatan) depan rumah, di mushala, atau di mana saja. Tapi sekarang segala sesuatunya lebih tertata. Mereka masih mendapatkan sesuatu yang baru yang seolah-olah “melahirkan diri mereka kembali” di dunia.
Cuma sayangnya banyak topik usulan yang ditolak para mahasiswa karena pertimbangan “keamanan”, “tak enak sama pak lurah” dan seterusnya.
“Payah!” Pak Mataki protes, “kalau di tingkat desa saja kalian tak berani, bagaimana mau mengubah negara?”
Ilmu Meningkat, Jiwa Meluas
Dengan segala keterbatasan ilmu dan pengetahuannya, serta dengan seluruh ungkapannya yang terbodoh-bodoh, Pak Guru Mataki tampak selalu "nekad" melibatkan dirinya dalam acara-acara sarasehan dan diskusi yang diselenggarakan oleh para mahasiswa KKN yang penuh semangat itu.
Bukan hanya untuk memberi contoh bagi kaum muda desa, tapi juga Pak Mataki ini memiliki gairah mencari ilmu yang sangat besar. Ia sangat bersemangat bertanya dan membantah atau mempertanyakan sesuatu yang tak dimengerti olehnya maupun yang tidak cocok dengan pandangannya. Pak Guru Mataki tahu bahwa dengan hidup di desa, pasti ia akan potensial untuk "kuper" atau "ketinggalan kereta" dalam soal ilmu dan informasi, maka disamping selalu meningkatkan daya analisis ketika nonton televisi, mendengarkan radio serta membaca satu dua koran yang kebetulan masuk desa, Pak Mataki merasa memperoleh rejeki besar dengan datangnya para anak pandai dari kota.
"Mumpung masih ada mahasiswa yang ber-KKN di desa kita," katanya setiap kali kepada Guru-guru lain atau siapa saja yang dijumpainya, "kita serap ilmu dan informasi dari mereka sebanyak-banyaknya."
"Kok pakai filsafat mumpungisme?" Bantah mereka, terkadang.
"Kalau soal mencari ilmu," jawab Pak Mataki, "itu luhur dan perlu."
Ada yang membantahnya dengan ilmu agama yang bagus. "Kan," katanya, "Tuhan sudah langsung menganugerahi kita ilmu dan informasi melalui alam, diri manusia sendiri, serta firman-firman-Nya."
"Bagus!" Jawab Pak Mataki, "itu informasi dari Tuhan. Kita sebagai wakil beliau di desa ini, harus merekayasa juga pengembangan dan penerjemahan ilmu dan informasi itu. Orang dan kaum cerdik pandai menerjemahkan ayat-ayat Tuhan melalui buku-buku, hasil penelitian, koran, majalah, teve, radio, dan lain-lain. Kita tak boleh ketinggalan jaman!"
"Tetapi dengan penerjemahan modern seperti itu, orang kota tidak pasti menjadi lebih pandai atau lebih baik, arif, dan matang kepribadiannya. Buktinya segala yang paling rusak dari kehidupan ini kebanyakan terjadi di kota-kota!"
Bahagia sekali Pak Mataki dibantah seperti itu. "Justru karena itu kita harus mencapai taraf keilmuan yang sama dengan orang kota, sebab kalau kita punya ilmu dan informasi, kan tidak akan kita gunakan untuk merusak kehidupan seperti yang banyak mereka lakukan!"
Orang-orang dusun itu makin lama makin kritis, makin mampu berani menyodorkan pertanyaan, membantah, dan mendebat. Terutama Pak Guru Mataki sendiri.
Sedemikian rupa sehingga pada suatu hari mahasiswa itu dibikin pusing. Terutama mahasiswa yang biasa dengan diskusi ilmiah dan akademis: suasana dan mekanisme diskusi di dusun itu terasa "kusir" dan tak menentu disiplinnya. Apalagi Pak Guru Mataki itu nekad dan selalu menabrak-nabrak saja seperti kerbau liar kalau sudah asyik mendebat.
"Susah kalau kita harus menyesuaikan diri pada keawaman mereka," berkata salah seorang mahasiswa.
Anggapan dan sikap seperti itu akhirnya ditangkap oleh Pak Mataki. Dan ketika muncul peluang pada suatu diskusi ia berkata sangat keras:
"Kalian ini anak-anak muda yang terdidik dan menjadi jauh lebih pandai dari kami. Jadi kenapa kalian meremehkan kami? Kenapa kalian meminta kami orang-orang bodoh ini menyesuaikan diri pada taraf dan disiplin ilmu kalian? Apa tidak terbalik? Bukankah seharusnya orang pandai yang menyesuaikan diri kepada orang bodoh. Apa gunanya kepandaian kalau tidak digunakan untuk menampung orang bodoh? Apa gunanya ilmu kalau dengan itu kalian meminta kami yang tak berilmu ini untuk mengabdi kepada kalian dan selalu menyesuaikan diri kepada kalian?"
"Aku Mataki, Guru SD di desa ini, tidak paham pada sikap kalian. Kalian sudah punya ilmu tinggi, tapi dengan itu kalian malah juga meninggikan diri kalian sehingga kami harus mengabdi kepada kalian. Kalau begitu orang berilmu sama saja dengan orang berpangkat, sama saja dengan pejabat, sama dengan priyayi, sama dengan raja, di mana rakyat kecil harus menampung semua kehendaknya dan menyesuaikan seluruh perilaku kepada yang kalian kehendaki. Aku tidak paham."
"Sepengetahuanku yang bodoh ini, kalau orang meningkat ilmunya, maka jiwanya menjadi luas dan kepribadiannya menjadi matang. Karena keluasan dan kematangannya, maka ia mampu menampung kesempitan orang-orang macam kami. Tapi yang terjadi sekarang ini terbalik. Kami orang-orang bodoh malah harus menyediakan keluasan, kesabaran, dan kematangan untuk menampung kehendak-kehendak kalian. Lantas apa bedanya kalian dengan para dokter? Para penguasa?"
Sungguh kaget para mahasiswa itu mendengar ungkapan Pak Guru Mataki.
Tulisan ini merupakan tulisan Emha Ainun Nadjib di bukunya yang berjudul "Gelandangan di Kampung Sendiri".
Demikian tulisan Cak Nun yang saya ambil dari buku beliau.
Walakhir, saya berharap semoga kita semua menjadi orang yang berilmu dan berjiwa luas, menjadi sosok yang tidak egois, menjadi pemimpin sosial :) (Amin....)
GOOD LUCK UNTUK MAHASISWA YANG BER-Kuliah Kerja Nyata...
GOOD LUCK UNTUK KKN LASKAR 035 UIN JAKARTA!!! :) :D
Komentar
Posting Komentar