Menggagas Peradilan Etika di Indonesia

Law floats in a sea of ethics
Hukum mengapung di atas samudera etika
Earl Warren (1953–1969)

            Sejarah perkembangan lembaga peradilan berkembang dalam proses yang sangat panjang. Sistem peradilan yang sederhana bermula dari peradilan adat atau peradilan berdasarkan hukum adat yang tidak tertulis. Kemudian di Indonesia sendiri, berkembang sistem peradilan berdasarkan kitab undang-undang hukum yang diadaptasi dari Belanda, pun struktur peradilannya. Indonesia mengambil warisan struktur peradilan dari Belanda tersebut, yakni ‘Landraad’ dan ‘Priesterraad’ yang diterjemahkan menjadi pengadilan negeri dan pengadilan agama, “Land-raad”, “Raad van Justitie”, dan “Hogeraad” diterjemahkan menjadi pengadilan negeri, pengadilan tinggi, dan Mahkamah Agung. Kemudian dirumuskan peradilan administrasi negara atau peradilan tata usaha negara dalam Undang-Undang Nomor XIV Tahun 1970, dan akhirnya dibentuk pada tahun 1986 berdasarkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Pengadilan Tata Usaha Negara.

Tentu saja, lembaga peradilan tersebut berkembang terus menerus dari waktu ke waktu. Kini, tidak hanya lembaga peradilan yang telah disebutkan di atas, tetapi juga berkembang cukup banyak lembaga peradilan baru dan khusus, seperti peradilan anak, tindak pidana korupsi (tipikor), industrial, adat, pajak, niaga, militer, dan lain sebagainya, bahkan dibentuk pula mahkamah konstitusi yang bertugas melakukan judicial review terhadap hukum positif di Indonesia. Oleh karena itu, berbicara mengenai pembentukan lembaga peradilan etik merupakan hal yang mungkin dan penting untuk supremasi hukum Indonesia itu sendiri.

Etika tidak hanya membahas mengenai mana benar dan mana salah semata, tetapi juga menyangkut persoalan baik dan buruk (good and bad) perilaku manusia dalam kehidupan bersama, substansi dari baik dan buruk tersebut, serta membahas persoalan perilaku mana yang seharusnya dilakukan manusia. Hukum yang dilahirkan dari dari nilai-nilai etika, moral, atau akhlak tersebut tidak dapat dilaksanakan atau ditegakan tanpa diiringi dengan penegakan nilai-nilai etika itu sendiri melalui suatu lembaga peradilan yang didesain secara sistematis, komprehensif, dan terintegritas. Namun tidak demikian yang ada di Indonesia, penegakan nilai-nilai etika tersebut lebih banyak diselesaikan secara tertutup di internal masing-masing sektor.

Sekarang ini, di Indonesia memang sudah dibentuk lembaga-lembaga penegak etika di berbagai sektor jabatan atau profesi publik, termasuk sektor profesi hukum. Salah satunya di dalam PERADI telah dibentuk Majelis Kehormatan Advokat yang berfungsi menegakan kode etik advokat. Demikian pula di lingkungan Ikatan Notaris Indonesia sejak lama telah berdiri Majelis Kehormatan Notaris (MKN), serta di lingkungan profesi hukum lainnya, sudah ada lembaga penegak kode etik masing-masing.

Namun demikian, semua lembaga penegak kode etik tersebut, sebagian besar masih bersifat proforma. Bahkan sebagian di antaranya belum pernah menjalankan tugasnya dengan efektif dalam rangka menegakkan kode etik yang dimaksud. Salah satu sebabnya ialah bahwa lembaga-lembaga penegak kode etik tersebut di atas tidak memiliki kedudukan yang independen, sehingga kinerjanya tidak efektif. Karena itu, sebagai solusinya ialah bahwa lembaga-lembaga penegak kode etik tersebut harus direkonstruksikan sebagai lembaga peradilan etik yang diharuskan menerapkan prinsip-prinsip peradilan yang lazim di dunia modern, terutama soal transparansi, independensi, dan imparsialitas.[1]

Fakta bahwa lembaga penegak kode etik tersebut tidak dibentuk secara matang, independen, dan baik diungkapkan oleh Dr. Suparman Marzuki, S.H., M.Si.[2] Menurutnya, Peraturan Presiden sebagai dasar pembentukan Komisi Kejaksaan dan Kepolisian merupakan dasar hukum terlemah bagi pendirian atau pembentukan komisi negara. Keberadaannya yang bersifat fakultatif dan kedudukannya yang berada di bawah Presiden menjadikan Komisi Kejaksaan tidak pernah bisa independen, sebab pembentukan atau pembubaran Komisi Kejaksaan sepenuhnya bergantung kepada Presiden. Presiden dapat setiap saat mengubah keanggotaan, mengurangi tugas dan wewenang, atau bahkan membubarkan komisi ini sesuai kebutuhannya.

Dr. Suparman Marzuki tersebut menambahkan bahwa fungsi pengawasan yang dijalankan Komisi Kejaksaan tumpang tindih dengan tugas dan wewenang pengawasan internal. Pengawasan tersebut juga rentan tidak efektif dan mempunyai daya tawar yang lemah, mengingat Komisi Kejaksaan selaku pihak yang mengawasi, mempunyai dasar hukum yang lebih rendah dari pada Kejaksaan selaku pihak yang diawasi.[3] Tidak hanya itu, lembaga penegak kode etik tersebut juga memiliki beberapa kelemahan yang menuai kontroversi, yaitu:[4]
  1. Terjadi class justice yang tidak dapat membedakan apakah suatu perkara di bawah yurisdiksi peradilan disiplin ataukah peradilan umum (pidana), atau menimbulkan kerancuan pemahaman kasus hukum, sebagaimana yang terjadi terhadap perkara Budi Gunawan.[5]
  2. Ada kesan bahwa peradilan disiplin profesional cenderung untuk memanipulasi fakta dan berusaha untuk membela anggota-anggotanya.
  3. Komposisi peradilan disiplin biasanya hanya terjadi dari kolega-kolega profesional sendiri. Hal ini tidak mencerminkan sifat seorang profesional yang seharusnya melindungi kepentingan umum.
  4. Sidang-sidang peradilan disiplin selalu tertutup, sehingga menimbulkan kecurigaan terhadap sesuatu yang tidak benar telah terjadi di dalamnya. Sanksi yang diberlakukan pun dinilai tidak dapat memberikan efek jera terhadap calon pelaku potensi.
  5. Jangka waktu persidangannya biasanya terlalu lama.
Dengan demikian, menguatkan apa yang disampaikan oleh Prof. Jimly Assidqy, yakni bahwa lembaga-lembaga penegak kode etik tersebut haruslah diamandemen dan direkonstruksi dengan membentuk lembaga peradilan etika yang terbuka, transparan, dan independen, serta memiliki posisi yang kuat di Indonesia.    

Namun, meski seandainya lembaga peradilan etika tersebut sudah dibentuk, tantangan tentu selalu saja ada. Tantangan tersebut untuk setiap sektor pada umumnya sama, yakni korupsi, money politics, dan degradasi moral politik. Masalah yang kerapkali dihadapi adalah apakah manusia sebagai objek dan subjek etika dapat menegakkan nilai-nilai etika tersebut dengan baik melalui lembaga peradilan etika. Permasalahan yang lainnya ialah nilai-nilai etika yang sudah disusun dalam bentuk Kode Etik dan Pedoman Perilaku kadang tidak melingkupi, mengatasi, dan mengantisipasi berbagai permasalahan etika secara sempurna. Kode etik atau bahkan peradilan etik bukanlah resep mujarab (panacea) atas segala persoalan yang dihadapi Indonesia.

Sebagai contoh dalam Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim[6], hakim tidak boleh meminta/menerima dan harus mencegah suami atau istri hakim, orang tua, anak atau anggota keluarga hakim lainnya, untuk meminta atau menerima janji, hadiah, hibah, warisan, pemberian, penghargaan dan pinjaman atau fasilitas dari:
  1. advokat;
  2. penuntut;
  3. orang yang sedang diadili;
  4. pihak lain yang kemungkinkan kuat akan diadili;
  5. pihak yang memiliki kepentingan baik langsung maupun tidak langsung terhadap suatu perkara yang sedang diadili atau kemungkinan kuat akan diadili oleh hakim yang bersangkutan yang secara wajar (reasonable) patut dianggap bertujuan atau mengandung maksud untuk mempengaruhi hakim dalam menjalankan tugas peradilannya.
Pengecualian dari butir ini adalah pemberian atau hadiah yang ditinjau dari segala keadaan (circumstances) tidak akan diartikan atau dimaksudkan untuk memengaruhi hakim dalam pelaksanaan tugas-tugas peradilan, yaitu pemberian yang berasal dari saudara atau teman dalam kesempatan tertentu seperti perkawinan, ulang tahun, hari besar keagamaan, upacara adat, perpisahan atau peringatan lainnya sesuai adat istiadat yang berlaku, yang nilainya tidak melebihi Rp. 500 ribu. Pemberian tersebut termasuk dalam pengertian hadiah sebagaimana dimaksud dengan gratifikasi yang diatur dalam Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi.

Muncul pertanyaan, bagaimana jika hakim ditraktir makan makanan kesukaannya tidak melebihi Rp. 500 ribu? Ia dijamu dan diperlakukan istimewa, misalnya untuk air minum dan tisu pun dilayani dengan cara diambilkan secara langsung oleh pihak yang mentraktir. Ia mentraktir hakim, bukan bermaksud memengaruhi putusan karena ia sendiri sama sekali tidak sedang mempunyai perkara di pengadilan. Ia mentraktir hakim, dengan harapan membangun hubungan emosional dengan orang-orang penting seperti hakim, siapa tahu di kemudian hari secara tidak sengaja menjadi para pihak yang bersengketa di pengadilan.[7] Karena itulah, kode etik dan pedoman perilaku yang sudah dipositivisasi tersebut tidak menghilangkan atau menggantikan pemikiran etis, tetapi sebaliknya memerlukan pendampingan refleksi pemikiran etis secara terus-menerus.[8]

Dengan demikian, sekalipun Indonesia memiliki Peradilan Etika yang terorganisir dengan baik, law and ethic enforcement tetap tidak akan terwujud jika hakim peradilan etika dan masyarakatnya sendiri tidak sadar akan pentingnya etika, moral, atau akhlak dalam menegakkan keadilan dan hukum. Dalam hal ini Dr. H. Jaja Ahmad Jayus, S.H., M.Hum.,[9] memberikan pendapatnya melalui tulisannya yang berjudul Budaya Hukum dan Penegakan Etika bahwa diperlukan peningkatan kemampuan dan profesionalisme tenaga penyuluh di bidang hukum, baik aspek hukum formil maupun substansi hukum untuk menciptakan budaya hukum yang terhindar dari malpraktik dan korupsi.

Simpulan
            Sistem peradilan muncul sebagai cara suatu negara menyelesaikan persoalan dalam masyarakat yang sedang berkonflik. Penyelesaian etis yang bersifat tertutup dan sulit diakses publik membuat lembaga penegak etika menjadi tidak independen, terlebih Komisi Kejaksaan dan Kepolisian yang memiliki dasar hukum terlemah (Peraturan Presiden), semakin memperlihatkan bahwa lembaga penegak etika yang selama ini ada ialah tidak independen. Oleh karena itu, pelanggaran etis dirasa perlu diselesaikan melalui peradilan yang lebih transparan, akuntabel, dan independen. Mereka yang terlibat dalam masalah pun dapat secara kontinyu dan terbuka untuk menghadiri dan mengetahui tahap demi tahap penyelesaian tersebut.

Namun penempatan atau pembentukan peradilan etika dalam suatu ranah kekuasaan kehakiman, bukanlah perkara mudah. Sebab diperlukan sumber daya manusia yang dapat dipercaya untuk mengelolanya, serta dibutuhkan pula peraturan perundang-undangan tentang peradilan etika sebagai payung hukumnya.

                [1] Prof. Jimly Assidqy, S.H., “Peradilan Etika”, Makalah, diakses dari http:// www.jimly.com/makalah/namafile/158/Peradilan_Etika_03.pdf pada tanggal 13 Juni 2017.
                [2] Dr. Suparman Marzuki, S.H., M.Si., dkk., Menggagas Peradilan Etik di Indonesia: Peradilan dan Etika, (Jakarta: Komisi Yudisial Repulik Indonesia: Pusat Analisis dan Layanan Informasi, 2015), hlm. 104
                [3] Ibid.
                [4] Ibid., hlm. 112-113
                [5] Lihat jawaban soal UAS Etika Profesi Hukum
                [6] Surat Keputusan Bersama Ketua MA dan KY No. 047/KMA/SKB/IV/2009 dan 02/SKB/P.KY/IV/2009.
                [7] Dr. Widodo Dwi Putro, S.H., M.Hum., dkk., Menggagas Peradilan Etik di Indonesia: Hukum dan Moral dalam Perspektif Filsafat Hukum, (Jakarta: Komisi Yudisial Repulik Indonesia: Pusat Analisis dan Layanan Informasi, 2015), hlm. 78.
                [8] Ibid., hlm. 78
                [9] Jaja Ahmad Jayus, dkk., Menggagas Peradilan Etik di Indonesia: Budaya Hukum dan Penegakan Etika, (Jakarta: Komisi Yudisial Repulik Indonesia: Pusat Analisis dan Layanan Informasi, 2015).
Lebih lanjut, baca tulisan Prof. Jimly Assidqy tentang Peradilan Etika. Tulisan beliau sudah banyak banget ttg peradilan etika tsb.

Komentar

Postingan Populer