Kontribusi Khalifah Al-Ma'mun di Bidang Ilmu Pengetahuan dan Teknologi


Al-Ma’mun (813-833 M) ialah seorang putra dari khalifah ternama Abassiyah, Harun al-Rasyid. Ayahnya memang seorang khalifah termasyhur sepanjang perjalanan dinasti Abbasiyah, ayahnya bahkan disejajarkan dengan penguasa bumi lainnya yang hidup di zaman itu yakni Charlemagne. Tidak ada penguasa lain yang pantas disejajarkan dengan ayahnnya selain Charlemagne tersebut.

Untuk itu, al-Ma’mun sebagai putra dari penguasa Abbasiyah yang paling berpengaruh tentulah mewarisi kemampuan ayahnya -utamanya kecerdasan-, kendatipun tidak sebanding dengan ayahnya.
Berbeda dengan Harun al-Rasyid yang banyak mengembangkan ilmu kedokteran, al-Ma’mum ialah khalifah penganut mu’tazilah yang sangat mencintai ilmu filsafat, khususnya filsafat Yunani. Hal ini disebabkan oleh latar belakang Al-Ma’mun itu sendiri sebagai penganut mu’tazilah yang juga banyak mengadopsi filsafat Yunani dalam mengembangkan aliran teologinya. Karena kecintaan inilah, al-Ma’mun mendirikan sebuah perpustakaan atau sejenis pusat kajian ilmiah yang diberi nama Bait al-Hikmah. Di dalamnya, dikaji mengenai berbagai buku filsafat Yunani yang diterjemahkan oleh golongan Kristen, Sabi, dan bahkan kaum penyembah bintang.

Berdekatan dengan Bait al-Hikmah, al-Ma’mun juga membangun sebuah observatorium dengan supervisor seorang Yahudi yang baru masuk Islam, Sind Ibnu Ali dan Yahya ibn Abi Manshur ­(w. 830 atau 831).[1] Di observatorium itu, para  astronom kerajaan “tidak saja mengamati dengan seksama dan sistematis semua unsur penting dalam almagest dan menghasilkan amatan yang sangat akurat: sudut ekliptik bumi, ketepatan lintas matahari, dan sebagainya.”[2] al-Ma’mun membangun lagi sebuah observatorium di bukit Kasiyun di luar Damaskus.[3] Perangkat observasi pada saat itu terdiri atas busur 90 derajat, astrolob, jarum penunjuk, dan bola dunia.

Ahli-ahli  astronom melakukan salah  satu perhitungan paling rumit tentang luas permukaan bumi. Tujuan dari perhitungan itu adalah untuk menentukan ukuran bumi, dan kelilingnya dengan asumsi bahwa bumi berbentuk bulat, pengukuran itu dilakukan di Sinjar sebelah Efrat, juga di dekat Palmyra, menghasilkan bahwa panjang garis lintang bumi di tempat itu adalah 56 2/3 mil Arab –sebuah hasil pengukuran yang sangat akurat, lebih panjang sekitar 2.877 kaki dari derajat lintang bumi sebenarnya di tempat itu.[4] Dengan demikian, mereka menyimpulkan bahwa panjang lingkar bumi adalah 20.400 mil dan diameternya adalah 6.500 mil. Di antara mereka yang ikut andil dalam proyek pengukuran itu adalah anak-anak Musa ibn Syakir, dan mungkin juga al-Khawarizmi, yang tabel astronominya (zij), setelah direvisi satu setengah abad kemudian oleh  seorang ahli astronomi dari Spanyol, Maslamah al-Majriti (w. 1.007) menjadi dasar bagi karya-karya yang lain di timur dan Barat. Tabel astronomi Arab semacam itu menggantikan semua tabel Yunani dan India yang dikenal sebelumnya, dan bahkan telah digunakan di  China.

Demikianlah pencapain yang diusahakan oleh khalifah al-Ma’mun dalam mengembangkan ilmu astronomi. Berkatnya, Islam tidak hanya dikenal dengan dinasti besar Abbasiyahnya yang hidup dalam gelimang harta dan bermewah-mewahan sebagaimana yang termaktub dalam karya besar Seribu Satu Malam. Namun, Islam juga dikenal dengan kecerdasan otaknya, kehebatan kemampuan berpikirnya, dan ketajaman analisisnya. Lahirnya banyak ilmuwan Islam sebagaimana al-Khawarizmi yang karyanya mampu menembus ruang dan waktu tidak lepas dari pengaruh para khalifah di masa itu, khususnya al-Ma’mun dalam bidang pengembangan ilmu astronomi. Tidak hanya sampai di sini saja, pengaruh al-Ma’mun tentu merebak hingga ke generasi penerusnya, al-Mutawakkil.
Al-Mutawakil, dalam karir kekhalifahannya pastinya akan meneruskan pengembangan ilmu astronomi yang dirintis oleh al-Ma’mun. Pada tahun 816, Ia menugasi seorang ahli  atrosnom ternama, Abu al-Abbas Ahmad al-Faghani (al-Fagranus) dari Fragana Transoxiana. Astronom tersebut diperintahkan untuk mengawasi pembangunan sebuah Nilometer di Fusthat.[5]

Al-Ma’mun, meski hanya sebuah rintisan awal namun ia –sekali lagi- berhasil mengembangkan intelektualitas Islam dan meneruskan tongkat estafet ayahnya. Karenanyalah, sejarah intelektual  -khususnya bidang astronom- Islam menjadi indah.

[1] Fihrist, hal. 275
[2] C.A Nallino, “Astronomy”, Encyclopedia of Islam. Bandingkan dengan Said, ath-Thabaqat, hl.50-51
[3] Ibnu al-Ibri, hal. 237.
[4] Nallino, ‘ilm al-Falak (Kairo, 1911), hal. 281. Bahasa Arab falak (ruang angkasa) mungkin berasal dari bahasa Babilonia, hal.105-106.
[5] Ibnu abi Ushaybi’ah, jilid 1, hal. 207

Komentar

Postingan Populer