Kerja Nyata Untuk Masyarakat?


KKN menjadi kegiatan rutinitas untuk mahasiswa semester akhir. Tak terasa, ternyata saya sudah ada di UIN sejak tahun 2014, sudah 3 tahun lamanya saya kuliah di Kampus Islam terbesar ini. Bulan Juli sampai dengan bulan Agustus 2017 nanti tentu saya harus ber-KKN. Waktu liburan yang biasanya saya habiskan di rumah saja, sekarang akan saya manfaatkan untuk mengabdi di desa.

Saya sangat ingin ber-KKN, ingin memanfaatkan ilmu saya di desa, berbaur dengan masyarakat desa, menjadi bagian dari masyarakat, dan lain sebagainya. Saya ingin berbuat banyak untuk desa. Saya sangat tidak sabar, ingin segera ber-KKN.

Saya membaca buku karya Emha Ainun Nadjib atau Cak Nun yang berjudul Gelandangan di Kampung Sendiri. Cak Nun menulis tiga bagian di buku itu khusus untuk mahasiswa yang ber-KKN. Tulisan Cak Nun tentu tidak diragukan lagi, tulisannya amat jleb langsung ke hati dan pikiran saya. Saking senangnya saya dengan tulisan Pak Kyai ini, saya tulis ulang tulisan beliau, kemudian saya upload ke blog saya avicennatitans.wordpress.com, dan saya bagikan tautan blog yang berisi tulisan Cak Nun itu ke semua teman saya yang akan ber-KKN.

Cak Nun[1] berpikir tentang mahasiswa KKN bahwa para mahasiswa itu datang dengan penuh iktikad baik dan Pemerintah memang menginisiatifi kuliah kerja nyata ini untuk suatu itikad baik yang tidak diragukan lagi. Institusi dan mekanisme kependidikan tumbuh berakar di kehidupan masyarakat. Masyarakat adalah Ibu Utama para anak didik bangsa, kepada siapa mereka harus menumpahkan pengabdiaannya. Akan tetapi rentang-rentang nilai, letak kordinat sosial, perbedaan sumber tradisi dan disiplin pada kalangan lapis sosial yang berbeda membuat itikad baik itu tidak senantiasa bisa ditemukan modus konkretnya.

Pada awalnya, sebelum saya ber-KKN, saya tersentak dengan tulisan itu. Tidak senantiasa bisa ditemukan modus konkretnya, kalimat ini membuat saya merasa tertantang. Saya berpikir bahwa mahasiswa juga bisa melakukan sesuatu yang bermanfaat secara konkret untuk masyarakat, memberdayakan masyarakat, menyelesaikan persoalan masyarakat, dan lain sebagainya.

Lebih lanjut, Cak Nun juga mengungkapkan sesuatu yang menurut saya fakta, yakni bahwa masyarakat sebenarnya (pada faktanya) bersimpati, terharu, dan geli pada mahasiswa yang ber-KKN. Bersimpati karena itikad baik mereka untuk “membimbing” rakyat dusun untuk “menjuru”. Terharu karena bagaimanapun mahasiswa KKN adalah “anak kecil” di “usia tua peradaban” masyarakat dusun yang mereka datangi itu. Kemudian hal-hal yang membuat geli masyarakat ialah mahasiswa KKN pada akhirnya hanya membawa sejumlah ide “tempelan” tentang formula-formula superfisial dari yang disebut kemajuan yang sesungguhnya tidak sungguh-sungguh dibutuhkan oleh masyarakat desa.

Jleb sekali bukan? Saya yang tadinya berpikir canggih tentang KKN ini, berencana akan inilah itulah di desa, tiba-tiba merasa sadar bahwa saya memang hanya anak kecil di usia tua peradaban masyarakat. Cak Nun benar sekali tentang mahasiswa KKN, kami hanya akan membawa “paket ide” dari “kota”, semacam “kembang plastik” yang sudah pasti belum tentu bisa ditanam di “tanah”. Lebih parahnya lagi, kami bisa-bisa hanya akan menjadi “sampah” di desa, numpang “mejeng” dan “nampang” saja di sana, atau bahkan bisa-bisa kami hanya akan membuat skandal di desa. Naudzubillah...

Tulisan Cak Nun itu membuat saya untuk tidak GR atau merasa pintar dan pantas mengajari masyarakat. Pandangan saya tentang KKN berubah seketika karena tulisan itu. Namun niat saya untuk belajar mengabdi pada masyarakat tidak lantas surut, saya memang sadar karena tulisan itu bahwa saya ini hanya mahasiswa ingusan yang membawa sepaket ide yang belum tentu cocok untuk masyarakat, tapi saya punya niat yang cukup besar untuk mampu belajar dari masyarakat. Saya benar-benar ingin bisa berbaur dengan mereka, belajar bersama dengan mereka, dan setidaknya membawa manfaat untuk mereka.

Minggu Pertama KKN
Sebagai sekretaris, saya disibukkan dengan surat undangan Pembukaan KKN Kelompok saya. Ada sekitar 35 surat undangan yang saya buat untuk pejabat-pejabat desa, tokoh masyarakat, para RW, dan RT. Menyebar undangan ini merupakan langkah awal kami, kami berharap kami bisa berkenalan atau ta’arufan dengan orang-orang penting yang ada di desa itu. Juga sekalian melihat-lihat pelosok desa, pesawahan, dan rumah-rumah kumuh yang ada di bagian paling dalam desa.

Acara Pembukaan KKN tersebut alhamdulillah berjalan dengan lancar. Hampir semua tamu undangan datang. Mereka tampak sangat antusias dengan kedatangan  kami. Saya sendiri merasa sangat bersyukur, tentu ini awal yang baik untuk kelompok. Semoga semua program sederhana yang kami canangkan dapat berjalan dengan lancar dan berkesan di hati masyarakat.

Pada minggu pertama ini, bisa saya katakan saya tidak kebingungan sama sekali. Saya menikmati KKN, saya senang bisa menyatu dengan masyarakat. Kami mendatangi satu per satu lembaga pendidikan yang ada di Desa terlebih dahulu, memperkenalkan kelompok KKN kami, dan berbincang-bincang dengan para guru di sana. Mereka juga tampak antusias dengan kedatangan kami. Terlihat jelas sekali, mereka ingin kami mengabdi di sekolah mereka. Bahkan SDN Pasilian I dan II mengundang kami untuk mengikuti upacara bendera bersama.

Kemudian selanjutnya, kami hadir di beberapa pengajian masyarakat. Anggota perempuan kelompok kami mengikuti pengajian yang diadakan di Majelis Ta’lim, sementara yang lelaki ngaji surat Yasin bersama Tokoh Masyarakat Desa di malam Jumat. Pada awalnya, saya merasa canggung untuk bergabung dengan pengajian di Majelis Ta’lim, sebab tidak ada anak seumuran kami yang ikut mengaji. Namun saya memaksakan diri demi niat saya berbaur dan belajar bersama dengan mereka, saya duduk di samping mereka, mengajak mereka mengobrol, dan pada akhirnya saya benar-benar menyatu dengan mereka. Bahkan ada Nenek yang mengira saya anak atau cucu dari Nenek yang dekat dengan saya.

Nenek-nenek itu benar-benar menerima dan menghargai kami. Mereka mungkin mengira kami mahasiswa kota yang keren dan punya banyak uang. Mereka berharap banyak kepada kami. Saya sendiri sebenarnya merasa sedikit terbebani, apalagi ketika salah satu dari mereka meminta “pakaian bekas” dan “sumbangan” dari kami. Saya sedih sekaligus merasa bersalah, sebab berbagi pakaian bekas dan sumbangan bukanlah program kami. Padahal ada banyak pakaian bekas yang kami punya yang seharusnya kami bawa ke desa ini untuk disumbangkan.

Satu langkah saja berarti banyak untuk saya. Hanya sekali saya melangkah ke Majelis Ta’lim itu, saya langsung tahu sedikit persoalan warga. Saya melihat dan merasakan bahwa mereka ingin belajar. Mereka melek pendidikan. Tapi amat disayangkan, saya benar-benar tidak dapat berbuat banyak hal untuk mereka. Saya hanya diam di Majelis itu, mengikuti pengajian secara normal, menjadi anak yang sangat biasa, saya bahkan tidak bertanya mengenai materi pengajian kepada Ustadz pengajian, dan ironisnya terkadang saya dan teman saya terlihat sedang mengobrol saat pengajian berlangsung. Saya menaruh harap, semoga kelompok KKN tahun berikutnya dapat melakukan hal yang lebih baik dan bermanfaat dari kelompok kami ini.

Saya berkenalan dengan seorang Nenek yang karismatik di Pengajian itu. Nama Nenek itu, Sukeriah, Ibu Sukeriah. Beliau ternyata seorang Ustadzah pemilik TPAI. Setiap sore, Bu Sukeriah mengajari al-Quran anak-anak usia 4 sampai 17 tahun. Ada banyak murid yang mengaji di sana. Namun hanya Ibu Sukeriah yang mengajari mereka, tempat mereka juga amat sempit, jumlah al-Quran terbatas, dan hanya ada dua blackboard bukan whiteboard di TPAI itu. Ibu Sukeriah tentu membutuhkan tenaga pengajar untuk membantunya di TPAI. Karena program tahsin al-Quran menjadi salah satu program kami, maka saya pikir saya bisa membantu Bu Sukeriah mengajari anak-anak itu. Tapi ternyata tidak bisa. Kelompok saya tidak sepakat untuk itu dengan dalih kelompok kami akan “sibuk” rapat setiap malam.

Minggu pertama KKN, kami hanya mencoba berbaur dan menyatu dengan masyarakat. Sebagian dari kami merasa cukup puas dengan itu, namun saya dan beberapa teman saya yang lain merasa kami harus melakukan sesuatu yang lebih untuk masyarakat. Ada banyak hal yang harus kami benahi. Ada banyak program di luar program yang sudah kami rencanakan yang mesti didiskusikan lebih lanjut. Kami harus membuat dan melaksanakan program baru yang lebih bermanfaat secara konkret untuk masyarakat.

Kinerja dan Efektivitas   
Desa kami terdiri dari 3 Kampung yang luas. Ada 5 sampai 6 RT di setiap Kampungnya. Untuk mengelilingi satu Kampung saja, kami tentu tidak bisa dengan hanya berjalan kaki, kami harus bergantian memakai motor. Saya merenung memikirkan hal ini, bagaimana saya bisa mengintervensi desa secara keseluruhan? Saya yakin teman-teman saya yang lain pun memikirkan hal itu. Kami semua bingung. Namun pada akhirnya, kami pikir kami hanya akan fokus terhadap satu RW atau kampung saja, yakni Kampung tempat rumah kontrakan kami berada, Kampung Pejamuran.

Sebagai sekretaris, saya tentu harus mencari data yang saya butuhkan tidak hanya tentang Kampung Pejamuran, tapi juga tentang Desa Pasilian. Saya harus menelusuri dua Kampung lainnya di Desa ini. Namun dengan berbagai macam aktivitas, mengajar pramuka di SDN Pasilian, mengajar TPAI, Bimbel, mengerjakan tugas sekretaris, mengikuti pengajian di Majelis Ta’lim, dan lain sebagainya, saya pun tidak sanggup. Saya hanya akan menelusuri dua Kampung yang lainnya itu, ketika saya benar-benar tidak memiliki aktivitas apapun.

Meski kami menjadikan satu Kampung sebagai prioritas kami, namun ternyata itu sama sekali tidak efektif. Sekolah tempat kami mengajar sebagian ada di RW 3, bahkan TBM yang kami renovasi pun ada di RW 3. Masjid terbesar di Pasilian ada di RW 2, sedangkan kontrakan kami ada di RW 1. Kami yang seharusnya fokus bekerja dan menelusur RW 1, malah lebih banyak melancong ke RW 3. RW 1 terlantar, kami bahkan tidak tahu ada berapa TPAI di RW satu ini. Begitu pula dengan RW 2 dan 3. Kami benar-benar tidak maksimal bekerja di dua RW yang lainnya. Kami hanya datang ke TPAI Nurul Hudaya, Yayasan Nurul Hidayah Bina Bhakti, dan TBM Umah Ilmu Pasilian di RW 3, kami tidak mendatangi Masjid yang ada di sana, tidak bersilaturahmi dengan tokoh masyarakat di sana, bahkan tidak kenal dengan Bapak RW-nya. Sementara RW 2, kami benar-benar nyaris tidak meninggalkan kenangan di sana. Jika kami tidak bersilaturahmi dan menyumbangkan al-Quran dan whiteboard ke TPAI al-Amanah di RW 2, tentu RW 2 itu tidak akan pernah mengenal kami. Kami merasa ini sebuah kegagalan. Tapi mau bagaimana lagi? Kami sudah keliru dalam berstrategi.
Kegagalan demi kegagalan kami rasakan. Jika mengingat wajah penuh harap masyarakat ketika kami datang, saya jadi sedih. Saya takut masyarakat kecewa. Saya khawatir, saya dan kelompok saya tidak bisa memberi kesan apapun untuk masyarakat. Saya jadi teringat dengan tulisan Cak Nun tentang mahasiswa KKN. Pak Kyai itu benar, kami ini memang hanya anak ingusan yang numpang lewat ke desa. Tapi setidaknya, masyarakat desa tidak berpikir kami anak kota arogan yang datang dengan songong sambil membawa ide absurd. Yaa... setidaknya kami berteman dan bersahabat dengan sebagian kecil dari mereka.

TBM Umah Ilmu Pasilian
            Saat pertama kali saya survey ke Desa Pasilian, kelompok saya dikenalkan dengan Pak Ahmad Tinggal seorang Pengelola Taman Bacaan Masyarakat di Desa. Kami semua tercengang dengan keberadaan TBM tersebut, sebab pada awalnya kami berencana membangun TBM.
TBM itu dinamakan Umah Ilmu Pasilian. Bangunannya teramat sangat sederhana, atapnya bocor, keramiknya retak, rak bukunya keropos, dan koleksinya terbatas. Kami yang inginnya membangun sendiri TBM yang baru, tiba-tiba berubah pikiran. Rencana kami mengenai perpustakaan masyarakat menjadi bercabang, apakah kami harus merenovasi TBM Umah Ilmu Pasilian yang sudah usang ini? Tapi biayanya pasti mahal. Ataukah kami hanya akan menambah koleksi buku TBM tersebut? Tapi TBM itu benar-benar membutuhkan sesuatu yang lebih dari buku. Atau kami bisa membangun cabang TBM Umah Ilmu Pasilian dan menambah pengelolanya? Entahlah... kami bingung dengan apa yang harus kami lakukan pada TBM ini.

Kesepakatan terakhir kelompok kami pada akhirnya, kami akan merenovasi TBM itu. TBM usang itu mesti direnovasi, diperindah, dan diperbanyak koleksinya. Semoga TBM Umah Ilmu Pasilian yang sudah direnovasi nanti menjadi kenangan yang sangat bernilai dari Kelompok KKN kami.
Renovasi TBM dikerjakan di minggu kedua KKN. Dosen Pembimbing kami yang datang setiap minggu ke tempat KKN berkunjung ke TBM saat kami sedang merenovasi TBM. Bu Bintan (Dosen Pembimbing) yang sebelumnya sudah tahu bahwa kami akan merenovasi TBM tampak bertambah semangat dengan program ini. Bu Bintan sangat mendukung kami, beliau bahkan menghubungi teman-temannya untuk bisa mendonasikan buku ke TBM tersebut dan turut membantu kami menyebar proposal permohonan donasi buku ke beberapa lembaga. Kami sangat berterimakasih dan bersyukur memiliki Dosen Pembimbing yang sangat bertanggungjawab, peduli, dan sangat mendukung semua yang kami usahakan untuk desa.

Kami, dibantu oleh relawan TBM, alhamdulillah benar-benar sukses merenovasi dan memperindah TBM Umah Ilmu Pasilian. Kini TBM itu jauh lebih nyaman untuk ditempati. Kami yakin TBM itu akan menjadi tempat favorit bagi anak-anak, remaja, hingga orang dewasa. Para pengunjung TBM, sekalipun itu anak-anak, mereka akan tahu kami. Terpampang jelas dan besar logo TBM Umah Ilmu Pasilian, logo UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, dan logo KKN Laskar 035 di dinding TBM.
Semoga TBM Umah Ilmu Pasilian  menjadi kenangan terindah dari kami.

Kami mengucapkan terimakasih kepada Bapak Ahmad, Kak Salim, Kak Adam, Kak Khoirunnisa, dan semua pengelola TBM yang sudah bersedia untuk bekerjasama dengan kami, yang sudah menerima dan bersahabat dengan kami. KKN Laskar 035 tidak akan pernah lupa teman-teman semuanya. Terimakasih sudah membangun dan mengembangkan TBM. Terimakasih sudah bermanfaat untuk masyarakat tanpa kenal pamrih.

Kerja Nyata untuk Masyarakat?
Berkali-kali saya katakan, saya sadar dengan siapa saya. Saya hanya anak kecil di tengah usia tua peradaban masyarakat. Saya sadar, saya tidak bisa berbuat banyak untuk masyarakat. Tidak ada hal yang bisa kami lakukan untuk masyarakat, apalagi jika mengingat waktu kami yang hanya sebulan di desa. Kerja apa yang bisa kami lakukan dalam waktu sebulan di desa? Ya paling hanya mengajar...
Tapi meski demikian, kepedulian kami terhadap masyarakat sangatlah tulus. Kami rela dan siap melakukan apa saja untuk masyarakat. Selama sebulan kami berusaha bekerja, mencari bantuan sana sini, meminta ini itu, memohon al-Quran, Juz ‘Amma, buku-buku, bahkan bibit pohon, kami membuat white board, membangun perpustakaan sederhana untuk masyarakat, kami mengajar, mengadakan seminar dan pelatihan, meramaikan perayaan HUT RI ke-72 untuk mempererat keakraban masyarakat, hingga menjadi relawan untuk program kesehatan, kami bekerja. Kami bekerja dengan segenap tekad dan itikad tulus untuk Desa Pasilian.

Sungguh tidak ada hal lain yang kami –khususnya yang saya harapkan selain kebermanfaatan. Semoga apa yang telah kami lakukan benar-benar dapat dirasakan secara nyata oleh masyarakat.
Saya juga mengucapkan terimakasih yang tidak terhingga kepada Ibu Bintan Humeira selaku Dosen Pembimbing KKN Laskar yang sudah membina kami hingga kami bisa selesai ber-KKN dengan lancar.

Teman-teman KKN Laskar 035, terimakasih sudah menjadi keluarga bagi saya. Terimakasih sudah memberi kenangan yang tak terlupakan, terimakasih sudah bekerja. Semoga kita dapat menjadi insan yang bermanfaat bagi orang lain di manapun kita berada yaa teman. Jangan lupakan saya J

Are You Ready for KKN?  
            Hai teman-teman yang akan ber-KKN, saya Tita Novitasari dari KKN Laskar 035, dari Desa Pasilian tercinta di pelosok Kabupaten Tangerang J. Teman-teman harus tahu ini...

Pertama, KKN itu baik. Teman-teman dapat memanfaatkan apa saja yang teman-teman miliki untuk masyarakat desa. Asalkan, teman-teman punya komitmen dan niat tulus yang kuat untuk bekerja. Yaa asalkan... bekerja, bekerja, bekerja. Bermanfaatlah untuk masyarakat.

Kedua, menyatu dan bersahabatlah dengan teman KKN-mu dan masyarakat. Setiap orang memiliki keistimewaan dan kelebihannya masing-masing. Dapat saling menghargai satu sama lain, bekerjasama dengan baik, dan bersahabat dengan teman KKN akan membuat hari-hari KKN kita semakin berarti. Paling utama, desa adalah lahan untuk kita belajar. Ada banyak sekali hal yang bisa kita dapatkan dari masyarakat. Sekali lagi, bersahabatlah dengan mereka.

Ketiga, jika teman-teman nanti ber-KKN di Desa Pasilian, kami KKN Laskar 035 –khususnya saya berharap, semoga teman-teman bisa mengembangkan TBM Umah Ilmu Pasilian. Jangan lupa pula TPAI di Desa itu, serta lembaga pendidikan lain yang ada di sana. Pasilian memiliki potensi yang sangat besar di bidang agama dan pendidikan. Untuk perekonomian, yang saya tahu, ada banyak pabrik di sekitar Desa Pasilian, sehingga banyak masyarakat Desa yang menjadi buruh pabrik. Bagi saya itu tidak menjadi masalah, tapi jika teman-teman ingin mendorong masyarakat untuk berwirausaha, itu lebih baik.

Keempat, ada banyak bidang yang bisa teman-teman kembangkan di masyarakat. Desa benar-benar membutuhkan orang yang peduli, jadi bekerjalah dengan tulus dan sungguh-sungguh untuk desa di bidang apapun itu.

Good Luck untuk kita semua!! 

                [1] Emha Ainun Nadjib, Gelandangan di Kampung Sendiri, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1995).

Komentar

Postingan Populer