Karakteristik Filsafat

Alkisah bertanyalah seorang awam kepada ahli filsafat yang arif bijaksana, “Coba sebutkan kepada saya jenis manusia yang terdapat dalam kehidupan ini berdasarkan pengetahuannya!” filsuf itu menarik nafas panjang dan berpantun:

Ada orang yang tahu ditahunya
Ada orang yang tahu di tidak tahunya
Ada orang yang tidak tahu ditahunya
Ada orang yang tidak tahu di tidak tahunya
“Bagaimana caranya agar saya mendapatkan pengetahuan yang benar?” sambung orang awam itu; penuh hasrat dalam ketidak tahuannya.
“Mudah saja,” jawab filsuf itu, “Ketahuilah apa yang tahu dan ketahuilah apa yang kau tidak tahu.”

Here I go...
Saya lebih mengerti pantun di atas ketika kata tahu diganti dengan kata memahami. Berarti bahwa ada empat jenis manusia di dunia berdasarkan dari penguasaan ilmunya. Pertama, ada orang yang benar-benar memahami ilmu yang ia peroleh, hakikat dan substansi dari ilmunya secara komprehensif dan multidimensi, ada orang berkata bahwa ia memahami ilmu yang ia peroleh tapi sebenarnya ia sama sekali belum memahaminya secara mendalam, ada orang yang mengaku tidak paham padahal ia paham, dan terakhir ada orang yang memang benar-benar tidak mengerti apalagi memahami.

Apakah filsafat?
Seorang yang berfilsafat dapat diumpamakan seorang yang berpijak di bumi sedang tengadah ke bintang-bintang. Dia ingin mengetahui hakikat dirinya dalam kesemestaan galaksi. Atau seorang yang berdiri di puncak tinggi, memandang ke ngarai dan lembah di bawahnya. Dia ingin menyimak kehadirannya dengan kesemestaannya yang ditatapnya (Jujun S. Suriasumanti, 1998).

Karakteristik filsafat yang pertama adalah menyeluruh, multidimensi, dan/atau komprehensif. Contoh, seorang ilmuwan yang berfilsafat tidak akan puas jika pengetahuannya, gagasan, atau idenya hanya ditopang oleh ilmu (di bidang “tertentu”) yang ia kuasai saja. Dia juga ingin menguasai atau melihat konstelasi ilmu di bidang yang lainnya. Dia ingin mengetahui kaitan ilmu yang ia kuasai dengan moral, agama, sains, metafisika, dan lain sebagainya. Dia ingin memastikan apakah ilmu yang ia kuasai saat ini bermanfaat bagi dirinya, bermanfaat untuk kebaikan orang banyak, dan membawa kebahagiaan bagi semuanya, atau tidak?

Karakter filsafat yang kedua adalah mendasar, fundamental, dan/atau konseptual. Artinya, ia tidak serta merta memercayai sesuatu. Setiap pernyataan atau setiap pengetahuan yang datang pada orang yang berpikir filsafat akan diuji kebenarannya dengan setumpuk pertanyaan yang mendasar. Misalnya, pertanyaan apakah matahari mengitari bumi atau bumi yang mengitari matahari? Jika jawabannya bumi yang mengitari matahari, pertanyaannya ialah mengapa bumi mengitari matahari? Apa yang menyebabkan matahari mengitari bumi? Jika jawabannya karena gravitasi matahari yang lebih besar ketimbang bumi, maka pertanyaanya ialah mengapa gravitasi matahari bisa lebih besar dari bumi? Dan seterusnya.

Contoh lain yang lebih menggelitik, pertanyaan yang mengkritisi hakikat matahari “terbit” di timur dan “terbenam” di barat, apakah benar bahwa matahari demikian? Jika berpikir filsafat, maka jawabannya salah. Karena, pada hakikatnya matahari tidak terbit apalagi terbenam melainkan rotasi bumilah yang membuat matahari kadang terlihat (siang/terbit) dan kadang tidak terlihat (malam/tenggelam).

Karakter filsafat yang terakhir adalah spekulasi atau hipotesis. Anda mungkin bertanya mengapa bisa karakter filsafat salah satunya adalah spekulasi? Karena karakter spekulasi inilah yang tidak bisa dilepaskan dari filsafat, artinya karakter ini melekat pada pandangan orang yang berfilsafat. Kenapa? Karena Orang yang berpikir, bertanya, atau mencari jawaban yang mendasar dan menyeluruh pasti akan berspekulasi dalam menemukan jawaban atau dalam menyusun gagasan yang bisa dipercaya dan diyakini. Langkah awal dari seorang yang berpikir atau berfilsafat adalah berspekulasi. Ilmu pengetahuan bisa berkembang sebab orang berspekulasi.

Dunia ini relatif. Ada banyak kemungkinan di dalamnya. Ada banyak jawaban untuk satu saja pertanyaan. Semuanya bergantung pada apakah anda berani berpikir, bertanya, kemudian mencari jawaban dan menggagas sebuah ide atau tidak?

Mari berfilsafat
Filsafat tentu menjadi pondasi bagi ilmu pengetahuan. Kita tidak akan tahu bahwa sistem tata surya kita bukan geosentris tapi heliosentris jika Galileo Galilei tidak berfilsafat, kita tidak akan tahu bahwa bumi itu bulat, berputar, dan bergravitasi jika tidak ada mereka yang berfilsafat, Amerika tidak akan pernah ditemukan jika tidak ada Columbus yang ingin memastikan kebenaran mengenai hakikat lautan, bahkan semua bidang ilmu pengetahuan yang telah dikembangkan di zaman modern ini tidak akan ada jika tidak ada Socrates, Plato, Aristoteles, dan filsuf atau ilmuwan lainnya.

Seorang filsuf besar memiliki slogan yang berbunyi “Kenali diri kita,” yang berarti bahwa filsafat tidak hanya mengantarkan kita pada kemajuan ilmu pengetahuan tapi juga pada diri kita sendiri. Filsuf Arab menambahkan slogan ini dengan pernyataan “Siapa yang mengenali dirinya sendiri, maka ia mengenal tuhannya.” Berarti bahwa filsafat mengajak kita untuk mengenal, memahami, dan mendekat serta merasakan keberadaan Allah SWT dengan mengenali hakikat dari adanya manusia atau dilahirkannya kita. We need to think about it. 

Filsafat ditopang oleh mana yang benar dan yang salah (logika), mana yang baik dan yang buruk (etika, moral, adab, atau akhlak), serta mana yang indah dan yang jelek (estetika atau seni). Teori ini kemudian dikembangkan lagi menjadi ontologi (hakikat pengetahuan), epistemologi (dasar-dasar atau sumber pengetahuan), dan aksiologi (nilai pengetahuan). Dengan ini, pengetahuan yang disintesis dari filsafat akan aman dari kebohongan, kebiadaban, dan kejelekan. Sebab, filsafat menguji pengetahuan dari segi hakikat, kebenaran, keindahan, dan kebermanfaatan atau nilainya untuk kesejahteraan manusia.

Jadi, mari berpikir teman-teman... minimal pikirkanlah dirimu sendiri, apa bakatmu, dan apa yang bermanfaat untukmu dan masa depanmu.

Artikel ini dibuat simpel, berhubung sudut pandang saya simpel.

Komentar

Postingan Populer